Arya
is calling. . .
Layar ponsel itu berkedip
seiring dengan alunan reff Tonight-nya BigBang. Gadis yang sedang rebahan itu
meraih ponsel hitam yang tergeletak di samping bantal kesayangannya. Sebelum
menekan tombol answer, ia menyusut sisa-sisa air mata di sudut matanya. Entah
apa hubungannya menyusut air mata dengan menekan tombol answer.
KLIK!
“Halo, Viaaa,” suara di
seberang langsung terdengar.
“Hem,” jawab gadis itu
tanpa semangat.
“Hari ini nggak ada acara
kemana-mana, kan?”
“Kenapa emangnya?”
Suara di seberang tidak
langsung terdengar. Ada jeda cukup lama yang membuat diam di antara mereka
berdua. Detik selanjutnya, suara itu kembali terdengar melalui speaker ponsel touchscreen itu. “Tukang batagor
langgananmu belum lewat, ya?”
Via mendecak kesal, saat
itu juga ia merutuki nasib memiliki kekasih geje seperti Arya. “Ada apa sih,
yaaaa?”
“Vi, ini kan belum tanggal
lima belas. Belum tanggalnya kamu gampang ngambek sama sensitif kayak gini.
Kenapa sih kenapa? Cerita lah!”
Via tidak menjawab, ia
ingin memberikan sinyal kepada Arya kalau memang moodnya sedang kelindes truk
dan butuh perbaikan. Huh! Mendadak ia benar-benar malas menanggapi kegejean
kekasihnya.
Di seberang sana, Arya
tiba-tiba mendapat pencerahan tentang hari apa ini. “Oh, aku tahu. Berapa
IP-mu?” tanyanya kemudian.
“Jelek. Nggak usah
dibahas,” jawab Via sekenanya.
“Nah, ketemu sekarang
penyebabnya. Ya udahlah nggak usah ngambek gitu, masa IP yang jelek aku yang
kena marah?”
“Siapa yang marah sama
kamu?” timpalnya ketus.
“Duuhh, takut deh! Kamu dapet
IP segitu atas usaha siapa? Kamu sendiri, kan?”
Alivia tidak menjawab
pertanyaan retoris itu. Tangannya meraih teddy bear coklat yang tergeletak di
sudut tempat tidurnnya lantas memeluknya. Dibiarkannya Arya melanjutkan
pembicaraan itu.
“Apapun yang telah kamu
dapat hari ini, itulah cerminan apa yang telah kamu usahakan kemarin. Bagus
atau jeleknya IP-mu sekarang itu kan hasil usahamu sendiri.”
“Iya aku tahu itu, tapi
tetep aja nyesek rasanya. Targetku nggak kesampaian,” adu Alivia.
“Target berapa kamu?”
“Paling nggak 3,5 lah dan
kamu tahu yang aku capai berapa? 3,41. Ini kan baru semester pertama, sedangkan
banyak yang bilang IP itu cenderung menurun di tiap semester,” kata Alivia
masih dengan nada dingin.
“Itu kan KATANYA bukan FAKTANYA.”
Singkat. Padat. Tapi
menohok.
“Dan faktanya, IP-mu
sendiri turun, kan?” tandas Alivia.
“Wih, menohok sangat
pernyataan dindaku ini.”
“Nah!” kata Alivia dengan
nada menang.
“Nah, makanya tugas kamu
menghapuskan anggapan yang sudah biasa itu. Buktikan kalau mitos IP makin turun
itu tidak berlaku, setidaknya buat kamu.”
“Gampang? Iya ngomongnya.”
“Wuidih, ampun nek, dingin
banget komentarnya. Udahlah, IP itu bukan segala-galanya, kan?”
“Iya. Tapi segala-galanya
bisa berawal dari IP,” sambar Alivia cepat.
“Termasuk kamu jadi ganas
begini juga berawal dari IP?” Arya membalas langsung pada sasaran.
“Ck.”
“Memangnya kalau IP-mu
tinggi itu menjamin kamu sukses? Tidak. IP itu hanya mengantarkan kamu
setidaknya sampai tahap wawancara, setelah itu di dunia kerja, IP itu bukan hal
penting lagi.”
Alivia tidak menanggapi,
seperti biasa jika sudah mulai serius seperti ini, sang mantan ketua OSIS itu
akan mulai berorasi.
“Well, setidaknya ada 9 kecerdasan
yang dimiliki manusia. Salah satunya kecerdasan
matematika-logika dan kecerdasan bahasa yang sering dikategorikan sebagai
kecerdasan intelektual yang dulu sering dianggap sebagai faktor kepintaran
seseorang. Tapi apakah kalau pintar lantas menjamin kita sukses? Tidak. Ada
sebuah penelitian, kalau nggak salah dari NACE USA aku juga lupa, yang
menyatakan bahwa 457 pimpinan perusahaan bilang IP bukanlah hal yang dianggap
penting dalam dunia kerja. Yang jauh lebih penting adalah sotfskill antara lain
kemampuan komunikasi, kejujuran, kerjasama, motivasi, kemampuan beradaptasi dan
kemampuan interpersonal dengan orientasi nilai pada kinerja yang efektif.”
Nah kan iya, tidak salah dulu
pacarnya itu terpilih sebagai ketua OSIS. Tuh, nyatanya pinter banget kalau
suruh ngomong. Alivia, meskipun dalam hati membenarkan semua perkataan Arya,
tetap saja memasang muka cemberut mendengarkan nasihat kekasihnya itu.
“Dan kamu tahu softskill tersebut
masuk dalam kecerdasan apa? Kecerdasan emosional. Gini deh, kamu tahu akun
twitter shitlicious?”
“Iya, kenapa?”
“Kalau kamu pernah baca bukunya,
yang skripshit, kamu bakalan bener-bener sadar kalau IP bukanlah sesuatu yang
menentukan masa depan. Dia, si alit itu, pernah dapet IP satu koma dan sampai
sekarang pun dia belum lulus kuliah. Entah udah berapa belas semester dia
selami. Tapi toh nyatanya dia termasuk orang sukses sekarang. Di salah satu bab
dalam bukunya, dia mengatakan kalau sekolah dan kampus itu bisa mendidik kita
menjadi orang pintar, tapi hidup dan segala pengalaman bisa mendidik kita
menjadi orang benar.”
Gadis berambut panjang itu
menggerakkan jari telunjuknya mengikuti bordiran ‘love’ di bagian dada teddy
bear coklatnya. Merasa jengkel. Entah karena yang dibicarakan Arya terlalu jleb
baginya, atau entah karena dia males mendengarkan nasihat Arya. Saya juga tidak
tahu.
Sayup-sayup Arya melanjutkan
penjelasannya.
“Dan pengalaman seperti itu bisa
kamu dapat di sekolah atau kampus salah satunya melalui organisasi. Sekarang
gini, kamu pernah ngerasain gimana pusingnya jadi bendahara, besok laporan pertanggung
jawaban keuangan harus diserahkan sedangkan uang yang kamu bawa itu dipinjem
temen dan belum dikembaliin?”
“Belum. Lagian kalau tahu itu uang
bendahara seharusnya nggak usah dipinjem-pinjemin dong,” jawab Alivia bete.
“Nah. Benar. Begitulah teorinya.
Tapi kenyataan itu tak selalu sama dengan teori. Hidup itu bukan hanya sekedar
teori. Beda jauh! Teori bisa saja mengatakan demikian, tapi ketika kamu
menghadapinya real di dunia nyata, belum tentu teori itu bisa diberlakukan
dengan tepat.”
Arya terlihat menarik napas untuk
mengambil jeda sejenak. “Kamu mahasiswa ekonomi. Secara teori, meskipun IP
kamu menurutmu jelek. . .”
“Ih, jahat!” gerutu Alivia sebal.
“Hehe. Ya, secara teori aku yakinlah
kamu menguasai ilmu-ilmu ekonomi. Tapi perwujudan nyatamu apa? Udah ngapain aja
selama ini dengan ilmumu itu?”
Glek! Alivia meneguk ludah,
mengingat memang selama ini dirinya terlalu pasif untuk hal-hal seperti itu. Dia
jadi ingat, banyak temannya mulai menerapakan ilmu ekonominya entah dengan
jualan design kaos, online shop, atau
bahkan memanfaatkan peluang jualan sarapan karena sebagian dari teman kampus
Alivia tidak sempat sarapan.
“Apalah arti teori tanpa praktek,”
lanjut Arya kemudian.
“Ehem, ini jadi kenapa dari tadi
nyindir aku terus sih?”
“Aku bukan nyindir. Kamu hanya
sedang menyangkal dirimu sendiri, Alivia sayang.”
“Ck. Aku kan lagi galau, Kak. Iya
aku tahu semua yang kamu bilang tadi itu benar, aku tahu memang seharusnya
begitu. Tapi emang nggak boleh ya aku nyesek? IP kan juga penting, setidaknya
untuk saat ini.”
“Iya, aku tahu IP juga penting. Kita
juga harus berjuang untuk itu, tapi ketika kita sudah berjuang, apa pantas kita
menyesali perjuangan kita sendiri?”
“Kak, kadang ya, orang yang punya
masalah itu tidak selalu butuh di nasehati, cukup di dengarkan sebenarnya dia
udah seneng.”
Tepat sasaran. Arya di seberang
sana, yang dari tadi merasa berhasil menasehati Alivia, tertunduk diam. Dia
tiba-tiba sadar bahwa dia sudah terlalu banyak berbicara panjang-lebar.
Berhubung saya penulis yang adil, tidak fair rasanya jika saya hanya
menyudutkan salah satu pihak :P
“Iya, iya, maaf. Ya udah dong,
makanya jangan nyesek lagi,” kata Arya mulai merayu. “Dan ngomong-ngomong kamu
bisa nggak turun? Aku udah hampir lumutan berdiri di depan pintu rumahmu.”
Alivia terperanjat. Dia buru-buru
melemparkan teddy bear coklatnya dan turun dari tempat tidur.
“Eh, Kak Ay ke rumah? Kenapa nggak
bilang dari tadi, sihhhh?”
“Gimana mau bilang kalau kamu langsung
ketus kayak tadi.”
“Hehe, iya, maaf. Ya udah tunggu bentar,
aku turun.”
***
“Usaplah
keringat yang mengalir membasahi keningmu
angkatlah ke atas dagumu yang tertunduk layu
Jangan menyerah
angkatlah ke atas dagumu yang tertunduk layu
Jangan menyerah
Jangan
mengalah
Bangunkan,
bangkitkan Semangat Juangmu hingga membara
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara”
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara”
Arya
tersenyum di akhir senandungnya sembari menatap Alivia yang berdiri tepat di
depan pintu. Pemuda berperawakan tinggi itu lantas menurunkan gitar coklat yang
memang ia bawa dari rumah dan berjalan mendekat ke arah gadis yang sedang
tersenyum manis dihadapannya.
“Ih,
Kak Ay sumpah nyebelin bangeeeeet,” gerutu Alivia manja.
“Nyebelin?
Nyebelin apa terharu punya pacar sebijak aku?” goda Arya sambil mengerlingkan
mata kanannya.
“Ih,
apa deeehhhh! Pede banget!” Alivia menonjok pelan bahu kanan Arya.
“Udah
yok, jalan! Nyari pengalaman biar kamu nggak galau.” Arya melingkarkan jemari
tangannya pada tangan kanan Alivia.
“Es
krim ya?” rajuk Alivia manja.
“Yeee,
kenapa jadi nodong!”
“Es
krim?”
“Ya
udah, iya iyaa. Udah yok!”
“Yes!
Siap, komandan!”
Dan
mereka pun berlalu meninggalkan penulis yang sedang memeluk bantal dengan muka
pengen ini. Hiks.
***
Kau
luapkan energi terhebatmu
terangi bumi dengan peluh semangatmu
hadirkan buih keringat, basuhi raga
basahi kulit, basahi jiwa, lalu busungkan dada
terangi bumi dengan peluh semangatmu
hadirkan buih keringat, basuhi raga
basahi kulit, basahi jiwa, lalu busungkan dada
Keringat
adalah hasil
jerih payahmu terbayar dengan semangat yang kau ambil
terbang tinggi menuju awan
dimana kau bisa lupakan semua lawan
Stiap langkah, stiap jiwa di tiap langkah Mulai bercerita
wakilkan smua mimpi mimpi yang tenggelam siap menantang bumi
dan kau adalah pemenang
jerih payahmu terbayar dengan semangat yang kau ambil
terbang tinggi menuju awan
dimana kau bisa lupakan semua lawan
Stiap langkah, stiap jiwa di tiap langkah Mulai bercerita
wakilkan smua mimpi mimpi yang tenggelam siap menantang bumi
dan kau adalah pemenang
Bangunkan,
bangkitkan Semangat Juangmu hingga membara
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara
(Sang juara-Bondan)
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara
(Sang juara-Bondan)
-THE
END-
Jeng jeng!
As usual, I just wanna share my
opinion. And here it is. . .jadilah seperti ini. Cerpen-cerpen saya, seringkali
memang tidak memenuhi kaidah ke-cerpen-an (?) karena memang ketika saya
menulis, saya jarang memperhatikan hal-hal seperti itu. Nulis ya nulis aja
gitu, hehe.
Sebenernya, ide cerpen ini udah
muncul sejak lama. Sejak saya pengumuman IP dulu, tapi baru sempet selesai
sekarang. Dan lagi-lagi, saya menghadirkan sesosok cewek galau dan hadirnya
seorang cowok sok pahlawan yang menjadi tukang menyelesaikan masalah dengan
(maksa) bijak #nyeh. Saya baru sadar, saya terlalu sering menulis cerpen dengan
cara ini -___-
Well, kata-kata ‘IP bukan
segala-galanya tapi segala-galanya bisa berawal dari IP’ itu adalah
kata-katanya BigBoss, Dosen saya tercute, Bapak Roy. Nada panggilannya si Alivia itu adalah nada panggilannya Mbak Ayu.
Boneka teddy bear itu cuma ada di khayalan saya. Research NACE USA itu saya
googling. Lagu yang dinyanyiin Arya itu lagunya Mas Bondan. Ceritanya si Alit
itu emang bener, cek deh ke acc twitter @shitlicious. IP 3,41 itu adalah IP
saya, errrr *entah harus nangis atau bangga*. Terusss. . .udah kayaknya itu
doang, selebihnya itu berasal dari otak saya.
Oh iya, cerpen ini saya dedikasikan
khusus untuk makhluk-makhluk yang menghuni ruangan lantai 2 samping tangga
gedung depan tiang bendera BDK Jogja :)
Finally, monggo yang sudah baca tinggalkan komentar. Hatur nuhun buat semua-muanya :)
Kamar Kos, 12 Juni 2012
23 : 42