Rabu, 13 Juni 2012

IP oh IP (cerpen)


Arya is calling. . .

Layar ponsel itu berkedip seiring dengan alunan reff Tonight-nya BigBang. Gadis yang sedang rebahan itu meraih ponsel hitam yang tergeletak di samping bantal kesayangannya. Sebelum menekan tombol answer, ia menyusut sisa-sisa air mata di sudut matanya. Entah apa hubungannya menyusut air mata dengan menekan tombol answer.

KLIK!

“Halo, Viaaa,” suara di seberang langsung terdengar.

“Hem,” jawab gadis itu tanpa semangat.

“Hari ini nggak ada acara kemana-mana, kan?”

“Kenapa emangnya?”

Suara di seberang tidak langsung terdengar. Ada jeda cukup lama yang membuat diam di antara mereka berdua. Detik selanjutnya, suara itu kembali terdengar melalui speaker ponsel touchscreen itu. “Tukang batagor langgananmu belum lewat, ya?”

Via mendecak kesal, saat itu juga ia merutuki nasib memiliki kekasih geje seperti Arya. “Ada apa sih, yaaaa?”

“Vi, ini kan belum tanggal lima belas. Belum tanggalnya kamu gampang ngambek sama sensitif kayak gini. Kenapa sih kenapa? Cerita lah!”

Via tidak menjawab, ia ingin memberikan sinyal kepada Arya kalau memang moodnya sedang kelindes truk dan butuh perbaikan. Huh! Mendadak ia benar-benar malas menanggapi kegejean kekasihnya.

Di seberang sana, Arya tiba-tiba mendapat pencerahan tentang hari apa ini. “Oh, aku tahu. Berapa IP-mu?” tanyanya kemudian.

“Jelek. Nggak usah dibahas,” jawab Via sekenanya.

“Nah, ketemu sekarang penyebabnya. Ya udahlah nggak usah ngambek gitu, masa IP yang jelek aku yang kena marah?”

“Siapa yang marah sama kamu?” timpalnya ketus.

“Duuhh, takut deh! Kamu dapet IP segitu atas usaha siapa? Kamu sendiri, kan?”

Alivia tidak menjawab pertanyaan retoris itu. Tangannya meraih teddy bear coklat yang tergeletak di sudut tempat tidurnnya lantas memeluknya. Dibiarkannya Arya melanjutkan pembicaraan itu.

“Apapun yang telah kamu dapat hari ini, itulah cerminan apa yang telah kamu usahakan kemarin. Bagus atau jeleknya IP-mu sekarang itu kan hasil usahamu sendiri.”

“Iya aku tahu itu, tapi tetep aja nyesek rasanya. Targetku nggak kesampaian,” adu Alivia.

“Target berapa kamu?”

“Paling nggak 3,5 lah dan kamu tahu yang aku capai berapa? 3,41. Ini kan baru semester pertama, sedangkan banyak yang bilang IP itu cenderung menurun di tiap semester,” kata Alivia masih dengan nada dingin.

“Itu kan KATANYA bukan FAKTANYA.”

Singkat. Padat. Tapi menohok.

“Dan faktanya, IP-mu sendiri turun, kan?” tandas Alivia.

“Wih, menohok sangat pernyataan dindaku ini.”

“Nah!” kata Alivia dengan nada menang.

“Nah, makanya tugas kamu menghapuskan anggapan yang sudah biasa itu. Buktikan kalau mitos IP makin turun itu tidak berlaku, setidaknya buat kamu.”

“Gampang? Iya ngomongnya.”

“Wuidih, ampun nek, dingin banget komentarnya. Udahlah, IP itu bukan segala-galanya, kan?”

“Iya. Tapi segala-galanya bisa berawal dari IP,” sambar Alivia cepat.

“Termasuk kamu jadi ganas begini juga berawal dari IP?” Arya membalas langsung pada sasaran.

“Ck.”

“Memangnya kalau IP-mu tinggi itu menjamin kamu sukses? Tidak. IP itu hanya mengantarkan kamu setidaknya sampai tahap wawancara, setelah itu di dunia kerja, IP itu bukan hal penting lagi.”

Alivia tidak menanggapi, seperti biasa jika sudah mulai serius seperti ini, sang mantan ketua OSIS itu akan mulai berorasi.

“Well, setidaknya ada 9 kecerdasan yang dimiliki manusia. Salah satunya kecerdasan matematika-logika dan kecerdasan bahasa yang sering dikategorikan sebagai kecerdasan intelektual yang dulu sering dianggap sebagai faktor kepintaran seseorang. Tapi apakah kalau pintar lantas menjamin kita sukses? Tidak. Ada sebuah penelitian, kalau nggak salah dari NACE USA aku juga lupa, yang menyatakan bahwa 457 pimpinan perusahaan bilang IP bukanlah hal yang dianggap penting dalam dunia kerja. Yang jauh lebih penting adalah sotfskill antara lain kemampuan komunikasi, kejujuran, kerjasama, motivasi, kemampuan beradaptasi dan kemampuan interpersonal dengan orientasi nilai pada kinerja yang efektif.”

Nah kan iya, tidak salah dulu pacarnya itu terpilih sebagai ketua OSIS. Tuh, nyatanya pinter banget kalau suruh ngomong. Alivia, meskipun dalam hati membenarkan semua perkataan Arya, tetap saja memasang muka cemberut mendengarkan nasihat kekasihnya itu.

“Dan kamu tahu softskill tersebut masuk dalam kecerdasan apa? Kecerdasan emosional. Gini deh, kamu tahu akun twitter shitlicious?”

“Iya, kenapa?”

“Kalau kamu pernah baca bukunya, yang skripshit, kamu bakalan bener-bener sadar kalau IP bukanlah sesuatu yang menentukan masa depan. Dia, si alit itu, pernah dapet IP satu koma dan sampai sekarang pun dia belum lulus kuliah. Entah udah berapa belas semester dia selami. Tapi toh nyatanya dia termasuk orang sukses sekarang. Di salah satu bab dalam bukunya, dia mengatakan kalau sekolah dan kampus itu bisa mendidik kita menjadi orang pintar, tapi hidup dan segala pengalaman bisa mendidik kita menjadi orang benar.”

Gadis berambut panjang itu menggerakkan jari telunjuknya mengikuti bordiran ‘love’ di bagian dada teddy bear coklatnya. Merasa jengkel. Entah karena yang dibicarakan Arya terlalu jleb baginya, atau entah karena dia males mendengarkan nasihat Arya. Saya juga tidak tahu.

Sayup-sayup Arya melanjutkan penjelasannya.

“Dan pengalaman seperti itu bisa kamu dapat di sekolah atau kampus salah satunya melalui organisasi. Sekarang gini, kamu pernah ngerasain gimana pusingnya jadi bendahara, besok laporan pertanggung jawaban keuangan harus diserahkan sedangkan uang yang kamu bawa itu dipinjem temen dan belum dikembaliin?”

“Belum. Lagian kalau tahu itu uang bendahara seharusnya nggak usah dipinjem-pinjemin dong,” jawab Alivia bete.

“Nah. Benar. Begitulah teorinya. Tapi kenyataan itu tak selalu sama dengan teori. Hidup itu bukan hanya sekedar teori. Beda jauh! Teori bisa saja mengatakan demikian, tapi ketika kamu menghadapinya real di dunia nyata, belum tentu teori itu bisa diberlakukan dengan tepat.”

Arya terlihat menarik napas untuk mengambil jeda sejenak. “Kamu mahasiswa ekonomi. Secara teori, meskipun IP kamu  menurutmu jelek. . .”

“Ih, jahat!” gerutu Alivia sebal.

“Hehe. Ya, secara teori aku yakinlah kamu menguasai ilmu-ilmu ekonomi. Tapi perwujudan nyatamu apa? Udah ngapain aja selama ini dengan ilmumu itu?”

Glek! Alivia meneguk ludah, mengingat memang selama ini dirinya terlalu pasif untuk hal-hal seperti itu. Dia jadi ingat, banyak temannya mulai menerapakan ilmu ekonominya entah dengan jualan design kaos, online shop, atau bahkan memanfaatkan peluang jualan sarapan karena sebagian dari teman kampus Alivia tidak sempat sarapan. 

“Apalah arti teori tanpa praktek,” lanjut Arya kemudian.

“Ehem, ini jadi kenapa dari tadi nyindir aku terus sih?”

“Aku bukan nyindir. Kamu hanya sedang menyangkal dirimu sendiri, Alivia sayang.”

“Ck. Aku kan lagi galau, Kak. Iya aku tahu semua yang kamu bilang tadi itu benar, aku tahu memang seharusnya begitu. Tapi emang nggak boleh ya aku nyesek? IP kan juga penting, setidaknya untuk saat ini.”

“Iya, aku tahu IP juga penting. Kita juga harus berjuang untuk itu, tapi ketika kita sudah berjuang, apa pantas kita menyesali perjuangan kita sendiri?”

“Kak, kadang ya, orang yang punya masalah itu tidak selalu butuh di nasehati, cukup di dengarkan sebenarnya dia udah seneng.”

Tepat sasaran. Arya di seberang sana, yang dari tadi merasa berhasil menasehati Alivia, tertunduk diam. Dia tiba-tiba sadar bahwa dia sudah terlalu banyak berbicara panjang-lebar. Berhubung saya penulis yang adil, tidak fair rasanya jika saya hanya menyudutkan salah satu pihak :P

“Iya, iya, maaf. Ya udah dong, makanya jangan nyesek lagi,” kata Arya mulai merayu. “Dan ngomong-ngomong kamu bisa nggak turun? Aku udah hampir lumutan berdiri di depan pintu rumahmu.”

Alivia terperanjat. Dia buru-buru melemparkan teddy bear coklatnya dan turun dari tempat tidur.

“Eh, Kak Ay ke rumah? Kenapa nggak bilang dari tadi, sihhhh?”

“Gimana mau bilang kalau kamu langsung ketus kayak tadi.”

“Hehe, iya, maaf. Ya udah tunggu bentar, aku turun.”
 ***

“Usaplah keringat yang mengalir membasahi keningmu
angkatlah ke atas dagumu yang tertunduk layu
Jangan menyerah
Jangan mengalah

Bangunkan, bangkitkan Semangat Juangmu hingga membara
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara”

Arya tersenyum di akhir senandungnya sembari menatap Alivia yang berdiri tepat di depan pintu. Pemuda berperawakan tinggi itu lantas menurunkan gitar coklat yang memang ia bawa dari rumah dan berjalan mendekat ke arah gadis yang sedang tersenyum manis dihadapannya.

“Ih, Kak Ay sumpah nyebelin bangeeeeet,” gerutu Alivia manja.

“Nyebelin? Nyebelin apa terharu punya pacar sebijak aku?” goda Arya sambil mengerlingkan mata kanannya.

“Ih, apa deeehhhh! Pede banget!” Alivia menonjok pelan bahu kanan Arya.

“Udah yok, jalan! Nyari pengalaman biar kamu nggak galau.” Arya melingkarkan jemari tangannya pada tangan kanan Alivia.

“Es krim ya?” rajuk Alivia manja.

“Yeee, kenapa jadi nodong!”

“Es krim?”

“Ya udah, iya iyaa. Udah yok!”

“Yes! Siap, komandan!”

Dan mereka pun berlalu meninggalkan penulis yang sedang memeluk bantal dengan muka pengen ini. Hiks.
***

Kau luapkan energi terhebatmu
terangi bumi dengan peluh semangatmu
hadirkan buih keringat, basuhi raga
basahi kulit, basahi jiwa, lalu busungkan dada

Keringat adalah hasil
jerih payahmu terbayar dengan semangat yang kau ambil
terbang tinggi menuju awan
dimana kau bisa lupakan semua lawan
Stiap langkah, stiap jiwa di tiap langkah Mulai bercerita
wakilkan smua mimpi mimpi yang tenggelam siap menantang bumi
dan kau adalah pemenang
Bangunkan, bangkitkan Semangat Juangmu hingga membara
Yakinkan, pastikan ini puncak segalanya
Berbanggalah karena kau adalah sang juara
(Sang juara-Bondan)

-THE END-

Jeng jeng!
As usual, I just wanna share my opinion. And here it is. . .jadilah seperti ini. Cerpen-cerpen saya, seringkali memang tidak memenuhi kaidah ke-cerpen-an (?) karena memang ketika saya menulis, saya jarang memperhatikan hal-hal seperti itu. Nulis ya nulis aja gitu, hehe.

Sebenernya, ide cerpen ini udah muncul sejak lama. Sejak saya pengumuman IP dulu, tapi baru sempet selesai sekarang. Dan lagi-lagi, saya menghadirkan sesosok cewek galau dan hadirnya seorang cowok sok pahlawan yang menjadi tukang menyelesaikan masalah dengan (maksa) bijak #nyeh. Saya baru sadar, saya terlalu sering menulis cerpen dengan cara ini -___-

Well, kata-kata ‘IP bukan segala-galanya tapi segala-galanya bisa berawal dari IP’ itu adalah kata-katanya BigBoss, Dosen saya tercute, Bapak Roy. Nada panggilannya si  Alivia itu adalah nada panggilannya Mbak Ayu. Boneka teddy bear itu cuma ada di khayalan saya. Research NACE USA itu saya googling. Lagu yang dinyanyiin Arya itu lagunya Mas Bondan. Ceritanya si Alit itu emang bener, cek deh ke acc twitter @shitlicious. IP 3,41 itu adalah IP saya, errrr *entah harus nangis atau bangga*. Terusss. . .udah kayaknya itu doang, selebihnya itu berasal dari otak saya.

Oh iya, cerpen ini saya dedikasikan khusus untuk makhluk-makhluk yang menghuni ruangan lantai 2 samping tangga gedung depan tiang bendera BDK Jogja :)

Finally, monggo yang sudah baca tinggalkan komentar. Hatur nuhun buat semua-muanya :)  


Kamar Kos, 12 Juni 2012
23 : 42