Sebenernya, bagaimana sih tahapan menjadi seorang
dokter itu? Setelah kamu melalui hari-hari berat dengan buku-buku berat juga
mata yang berat karena terlalu lama begadang pada masa perkuliahan, kamu akan
diwisuda. Setelah diwisuda ini, kamu akan mendapat gelar S.Ked. di belakang
namamu-inget! S.Ked di belakang nama, bukan dr. yang biasanya ditaruh di depan
nama. Gelar dokter (dr.) itu baru akan disematkan di depan nama kamu setelah
kamu menyelesaikan masa kepaniteraan di rumah sakit.
Apa sih ko-ass itu? Mungkin, KO-ASS bisa dibilang
Kumpulan Orang Selalu Salah. Kenapa selalu salah? Mungkin, bisa dibilang, apa
yang kami lakukan selalu terasa salah, terutama untuk para konsulen. Sebagai
“dokter pemula”, kami memang belum banyak memiliki jam terbang pada penanganan
pasien. Jadi, kejadian dimarah-marahin oleh dokter spesialis di tempat ko-ass,
misalnya karena salah menjawab, memang sudah menjadi makanan sehari-hari kami.
Sebagai sarjana kedokteran, kami akan ditempatkan di rumah sakit untuk
menyelesaikan 14 bagian spesialisasi atau yang biasa disebut dengan stase.
Kegiatan kami ya seperti layaknya petugas medis yang lain, kami
memeriksa pasien, melakukan wawancara dengan pasien, membaca hasil foto,
mengikuti operasi, hingga jaga bangsal. Semua kegiatan itu kami lakukan di
bawah pengawasan, yaah, anggaplah bos kami, yang biasa disebut dengan konsulen.
Intinya, menjadi anak ko-ass itu susah-susah gampang.
Kami banyak terbentur jadwal yang tidak pasti, mengingat orang sakit juga tidak
pernah mengenal waktu. Kami juga terbentur jadwal operasi, jadwal poli, jaga
bangsal, juga jadwal pacaran tentunya.
“Dengan cara apa
pekerjaan dokter membuat hidup kamu lebih baik? Dengan cara panggilan darurat
malam? Dibayar murah, padahal kita sudah bekerja dengan segenap totalitas?
Atau, dengan mudahnya seorang dokter dituduh melakukan malpraktik, padahal
sebenarnya tidak? Atau, dengan kurangnya waktu tidur seorang dokter demi
menyelamatkan nyawa orang lain?”
“Kalau kamu pikir
menjadi dokter itu jalan pintas menuju kekayaan, kalian salah besar, Dek! Jadi
dokter itu tidak lebih dari sebuah pengorbanan dan pengalaman dalam bidang
kemanusiaan. Kalau mau kaya, jangan jadi dokter, Dek, coba jadi pengusaha atau
pebisnis. Kalau kalian bekerja jadi dokter hanya mengharapkan untuk cepat balik
modal saat menolong pasien kalian akan berorientasi pada uang sehingga
mengabaikan hal paling hakiki dari seorang dokter, yaitu nilai kemanusiaan.”
“Carilah uang di
luar pekerjaan kalian sebagai seorang dokter, jadikan dokter sebagai pengalaman
kalian di dunia dan tabungan untuk di hari akhir kelak. Jangan pernah ambil uang
dari pasien, Dek. Mereka tidak pernah meminta sakit, jangan kalian beratkan
lagi dengan pengobatan mahal. Dibayar memang menjadi hak seorang dokter, tapi
jika kalian mengobati pasien hanya untuk dibayar kalian akan merasa hidup
kalian hampa. Karena, tepat di ditulah, nilai kemanusiaan kalian memudar.”
***
Visit besar adalah kunjungan rutin ke
pasien-pasien rawat inap bersama seluruh konsulen yang mengajar anak-anak
ko-ass di departemen yang sedang mereka naungi. Mengapa visit besar ini harus disiapkan dengan sebaik-baiknya adalah karena
poin penilaian dari visit ini lumayan
besar untuk kelangsungan hidup sebagai anak ko-ass. Selama proses visit, konsulen akan banyak bertanya tentang
penyakit yang di derita pasien. Oleh karena itu, mutlak hukumnya bagi anak
ko-ass untuk mengulang semua materi perkuliahan tentang penyakit yang di derita
si pasien.
Biasanya, balada visit besar sudah dimulai dari malam
menjelang visit besar keesokan
harinya. Anak ko-ass sudah mulai sibuk mendata pasien apa saja yang sedang
dirawat dan kemungkinan pertanyaan yang akan ditanyakan. Biasanya, proses
koordinasi ini dilaksanakan oleh seluruh anak ko-ass yang kebagian jaga malam
pada khususnya.
***
Aku mulai frustasi
dengan keadaan, berada di lingkungan rumah sakit bukanlah sesuatu yang
menyenangkan. Berhadapan dengan orang-orang yang sekarat, kesakitan, tangisan
kehilangan, dan rintihan bukan sesuatu yang baik untuk dihadapi setiap hari.
Menitikberatkan pada kata setiap hari
tampaknya bukan sesuatu yang terlalu berlebihan.
Sebagai pekerja
rumah sakit, kami harus banyak berhadapan dengan hal-hal yang mungkin tidak
semua orang dapat rasakan. Mata-mata yang tertekan, mata penuh pengharapan
untuk sembuh. Siapa bilang memiliki pengetahuan lebih tentang kesehatan itu
menyenangkan? Aku malah frustasi dan bikin stres. Bukan hal yang enak
mengetahui kondisi pasien yang menurut teori buku, dengan kondisi pasien
seperti itu harapan hidup sudah kecil. Namun, pada satu sisi, aku masih harus
berhadapan dengan keluarga pasien dengan tatapan penuh harap bahwa sanak
keluarganya akan sembuh.
Dealing with sick people. . .sickening!
Selain harus
berhadapan dengan pasien, sebagai dokter muda, aku dihadapkan pada padatnya jadwal
dan menumpuknya pekerjaan. Pada setiap bagian yang kami lalui, aku harus
melewati banyak sekali presentasi kasus yang semuanya harus aku buat dalam
bentuk power point, juga versi paper. Untuk bagian besar seperti bedah-selain
dengan tugas-aku juga tidak bisa bernegosiasi dengan jadwal operasi dadakan dan
pasien kecelakan yang tidak kenal waktu. Jadi, bagiku, dokter muda tidak pernah
mudah.
Jadwal bertemu
keluarga menjadi langka, jadwal pacaran, apalagi. Sesekalinya, aku dan Bul
memutuskan untuk berkomunikasi lewat Skype,
tiba-tiba ada pasien baru. Tugas membuat referat membuat waktuku di komputer
lebih banyak tersita pada website journal
ketimbang balon messenger. Mau malam
mingguan, terhalang jadwal jaga. Tidak banyak yang bisa dilakukan seorang dokter
muda selain menerima nasib dan keadaan.
Terkadang, orang
menganggap bahwa sosok dokter di balik jas putihnya adalah sosok sempurna yang
tidak memiliki kekurangan dan hidup bahagia. Bergelimangan harta dan tidak
pernah salah. Terkadang, mereka terlalu menganggap dokter berlebihan, tanpa
sadar bahwa dokter juga manusia biasa yang bisa saja salah. Memang, untuk
menjadi seorang dokter, kami dituntut untuk tidak melakukan kesalahan sekecil
apa pun dalam penanganan medis. Namun, untuk hal lain? Kami juga merasakan
pahitnya jatuh cinta, menangis melihat pasien karena memang kondisi yang
menyayat hati, kesal karena melewatkan konser band favorit, galau karena kangen
dengan pacar, berantem dengan teman maupun pacar, bosan dengan rutinitas, dan
tidak engerti materi hingga tidak selalu hafal resep obat.
Yes,
doctors are human, like the others.
***
Usai aku menutup netbook merah kesayanganku dengan sejuta
rasa goyang yang berkecamuk, aku kembali dihadapkan pada kenyataan. Ya, dalam
beberapa bulan ke belakang dan kurang lebih setahun ke depan, hidup nyataku
memang menjalani ko-ass. Aku menjelma sebagai dokter muda yang harus selalu
ramah di depan pasien dan berkomitmen tinggi demi ilmu medis. Seorang wanita
yang tidak peduli seberapa perih hatinya harus tetap memberikan pelayanan
terbaik bagi kesehatan masyarakat. Mengingat, tidak akan ada satu pun orang
yang menaruh perhatian apa yang sedang terjadi pada diri kita. Di balik jas
putih ini, aku adalah orang lain.
(Adapted from Novel Heart
Emergency-Falla Adinda)
***
Selesai baca novel Heart Emergency, entah kenapa aku bersyukur atas kegagalanku masuk
Fakultas Kedokteran dulu. Mungkin, ini jadi salah satu jawaban kenapa aku nggak
ditakdirin jadi dokter. Dulu, aku emang pengen jadi dokter. Tapi keinginanku
hanya sebatas karena aku suka sama profesi itu, kayaknya asik meriksa-meriksa
orang, pakai alat-alat medis yang canggih, dll. Dalam pandanganku dokter itu
keren, pintar, hebat. Aku tidak pernah tahu bagian pahitnya menjadi seorang dokter. Dan aku sadar sekarang, ternyata
keinginan itu masih kurang kuat untuk melalui bagian pahitnya.
Buat yang pengen jadi dokter, berhenti
sejenak, pikirkan ulang apa tujuan kalian ingin menjadi dokter! Semoga tujuan
kalian memang mulia demi kemanusiaan J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar