Rabu, 20 November 2013

Let Me Tell You (Review Novel ‘Morning Light’)


Pertandingan perempat final sepak bola antara SMA 135 dan SMA 315 sudah dimulai. Aku duduk di belakang gawang SMA 315 bersama temanku.
“Siapa namanya?” tanya Nadia, temanku, sambil menunjuk seorang cowok yang sedang menggiring bola di tengah lapangan.
“Devon,” jawabku singkat.
“Kenapa permainannya payah begitu?” komentarnya. Devon bermain tidak fokus, berkali-kali dia membuat kesalahan.
“Mungkin, dia sedang menunggu seseorang.”
“Siapa?”
Belum sempat aku menjawab, cewek manis yang duduk di sebelah kami berujar dengan nada kesal. “Kemana saja kalian? Pertandingan sudah berjalan selama 15 menit!”
Sorry… sorry… ini gara-gara aku,” kata cewek berkacamata yang baru saja datang dengan nada penuh penyesalan.
“Sebenarnya, kami sudah selesai makan dari tadi tapi dia nggak mau ke sini sebelum mendapatkan ini!” kata satu-satunya cowok di antara mereka bertiga sambil mengacungkan tas plastik.
Nadia yang sedang memperhatikan mereka bertiga kemudian menoleh ke arahku. “Kalau mereka siapa? Apa mereka yang ditunggu Devon?” tanyanya.
“Cewek mungil itu Agnes, yang pakai kacamata namanya Sophia, kalau yang cowok itu namanya Julian,” sebutku. “Mereka bertiga sahabatnya Devon. Sophie adalah sahabat sejak kecil, bahkan rumahnya bersebelahan. Sedangkan Agnes dan Julian baru berteman sejak masuk SMA. Mereka berempat tinggal satu komplek.”
Nadia hanya mengangguk sambil membulatkan bibirnya tanda ‘oh!’
“Agnes itu jago masak, manis, suka senyum. Kalau Sophie itu sadis, cuek sama penampilan, peduli dengan teman, suka nulis. Eh, emm, mungkin sih. Tapi dia jago fotografi sebenarnya. Devon, seperti yang kamu lihat. Dia jago sepak bola, anaknya usil. Yang aku suka si Julian. Dia paling baik menurutku, pintar, dewasa pula,” jelasku panjang lebar.
Kami berdua kemudian menengok ke samping ketika tiba-tiba cewek bernama Sophie beranjak dari duduknya. Mata kami mengikuti ke arah dia berjalan.
“HOI BODOH! APA YANG KAMU LAKUKAN? JANGAN MEMBUAT MALU!!!!” teriak Sophie dari tepi podium.
Nadia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Sophie yang sedang berdiri berkacak pinggang. “Kenapa dia melakukan itu?”
“Dia harus mengingatkan Devon, karena kalau permainan Devon masih seperti itu, Devon bisa dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.”
“Ayahnya?”
“Ya. Devon adalah putra Ruslan Jayadi, mantan pemain sepak bola, andalan PSIS dulu. Kamu tahulah, sebagai anak laki-laki satu-satunya, ayahnya menaruh harapan besar padanya untuk meneruskan mimpi.”
“Hidup dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain,” gumam Nadia.
“Benar. Tidak hanya Devon sebenarnya. Mereka bertiga juga,” kataku sambil menggerakkan dagu ke arah Agnes, Sophie, dan Julian. “Mereka itu bunga matahari yang berusaha mengejar matahari. Padahal, bunga matahari sendiri sudah cantik. Yah, seperti katamu, karena hidup dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain, mereka berusaha mengejar bayang-bayang itu hingga mengabaikan kalau sebenarnya mereka memiliki potensi masing-masing.”
Nadia mengangguk-angguk lagi, kemudian kembali menonton pertandingan.
“Kereeeeen!” pekiknya melihat permainan Devon yang sudah berubah 180 derajat. Nadia langsung melirik ke arah salah satu dari mereka bertiga—Agnes, Sophie, dan Julian—kemudian menoleh ke arahku dengan muka jahil. “Pasti ada kisah friendzone di antara mereka?”
Aku tersenyum geli. “Begitulah.”
CUT!” suara sang sutradara terdengar lantang. “Oke, kita break dulu sebelum masuk ke scene berikutnya,” perintahnya.
“Keluar yuk beli minum, haus!” ajak Nadia. Meski hanya sebagai pemain figuran, kami berdua cukup lelah mengikuti jadwal syuting seharian ini.
“Eh ngomong-ngomong, kamu kok udah tahu detail karakter mereka dan jalan cerita film Morning Light? Padahal, kan, baru syuting?” tanya Nadia.
“Film ini kan diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Dan aku sudah pernah membacanya.”
“Benarkah? Boleh pinjam?”
“Oke. Nanti mampir ke rumahku, ya!” Dan kami pun keluar stadion untuk mencari Pocari Sweat.
***
           “Wih, sampulnya keren. Menarik!” komentar Nadia begitu ia melihat novel dengan warna sampul dominan kuning itu. “Oh, jadi ini karya Mbak Windhy Puspitadewi? Pengarang Let Go itu, kan?”
            “Iya. Pernah baca?”
            “Pernah, keren! Gagas Media juga ini?”
“Yap!”
“Pantes sampulnya keren, bukunya Gagas kan sampulnya juara.” kemudian Nadia membalikkan novel itu, diam sejenak--mungkin dia sedang membaca sinopsis di sampul belakang.

Aku seperti bunga matahari yang selalu mengejar sinar matahari, hanya melihat pada dia : matahariku. Aku mengagumi kedalaman pikirannya, caranya memandang hidup—malah, aku mati-matian ingin seperti dirinya.
Aku begitu terpesona hingga tanpa sadar hanya mengejar bayang-bayang. Aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendongak sampai lupa kemampuan diriku sendiri. Aku bahkan mengabaikan suara lirih di dasar hatiku. Aku buta dan tuli. Dan di suatu titik akhirnya tersungkur. Saat itulah aku mulai bertanya-tanya: Apakah dengan menjadi seperti dia, aku pun akan dicintai?

“Kayak kisah cinta, ya?” ujarnya setelah—mungkin—selesai membaca sinopsisnya.
“Awalnya aku juga berpikir begitu, tapi ternyata enggak. Ini cerita persahabatan, ya meskipun ada kisah cintanya juga sebagai bumbu. Kalau kamu baca ceritanya, sinopsisnya tetep nyambung kok sama isinya.”
Dia kemudian mulai membuka-buka halaman depan novel itu. “Tahun 2010. Berarti duluan Let Go,” gumamnya. “Gaya bahasanya tetep baku kayak di Let Go?”
“Iya, khas Mbak Windhy pokoknya. Baku, aku-kamu, tapi nggak ngebosenin. Itu yang aku suka dari gaya tulisannya Mbak Windhy. Eh, ada juga. Humornya. Humornya Mbak Windhy itu berkelas, enggak murahan, meskipun pakai bahasa baku, aku tetep bisa terkikik kalau baca.”
Nadia mengangguk-angguk sambil tetap membolak-balikkan halaman demi halaman novel. “Eh, tapi novel ini tipis juga ya, 175 halaman.”
“Yap, aku nggak sampai sehari udah selesai baca. Tipis memang, tapi apa yang kamu bakalan dapet dari novel ini banyak banget. Serius! Meskipun sebenernya jalan ceritanya ketebak, tapi aku menikmati setiap bagian menuju akhir cerita ini.”
Recommended nggak?”
Recommended dong! Bagiku, novel itu bagus kalau bisa membuatku tidak berhenti membaca sebelum halaman terakhir, dan bisa menginspirasiku. Bahkan menginspirasi untuk ikut menulis. Dan Morning Light memenuhi keduanya. Empat dari lima bintang lah.”
“Oke, aku pinjam, ya?” kata Nadia akhirnya.
Aku mengangguk mengiyakan. Semakin banyak yang baca, semakin banyak yang akan terinspirasi juga, kan?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar