Pertandingan perempat final sepak bola antara SMA 135 dan SMA 315 sudah dimulai. Aku duduk
di belakang gawang SMA 315 bersama temanku.
“Siapa
namanya?” tanya Nadia, temanku, sambil menunjuk seorang cowok yang sedang
menggiring bola di tengah lapangan.
“Devon,”
jawabku singkat.
“Kenapa
permainannya payah begitu?” komentarnya. Devon bermain tidak fokus,
berkali-kali dia membuat kesalahan.
“Mungkin,
dia sedang menunggu seseorang.”
“Siapa?”
Belum
sempat aku menjawab, cewek manis yang duduk di sebelah kami berujar dengan nada
kesal. “Kemana saja kalian? Pertandingan sudah berjalan selama 15 menit!”
“Sorry… sorry… ini gara-gara aku,” kata
cewek berkacamata yang baru saja datang dengan nada penuh penyesalan.
“Sebenarnya,
kami sudah selesai makan dari tadi tapi dia nggak mau ke sini sebelum
mendapatkan ini!” kata satu-satunya cowok di antara mereka bertiga sambil
mengacungkan tas plastik.
Nadia
yang sedang memperhatikan mereka bertiga kemudian menoleh ke arahku. “Kalau
mereka siapa? Apa mereka yang ditunggu Devon?” tanyanya.
“Cewek
mungil itu Agnes, yang pakai kacamata namanya Sophia, kalau yang cowok itu
namanya Julian,” sebutku. “Mereka bertiga sahabatnya Devon. Sophie adalah
sahabat sejak kecil, bahkan rumahnya bersebelahan. Sedangkan Agnes dan Julian
baru berteman sejak masuk SMA. Mereka berempat tinggal satu komplek.”
Nadia
hanya mengangguk sambil membulatkan bibirnya tanda ‘oh!’
“Agnes
itu jago masak, manis, suka senyum. Kalau Sophie itu sadis, cuek sama
penampilan, peduli dengan teman, suka nulis. Eh, emm, mungkin sih. Tapi dia jago
fotografi sebenarnya. Devon, seperti yang kamu lihat. Dia jago sepak bola, anaknya
usil. Yang aku suka si Julian. Dia paling baik menurutku, pintar, dewasa pula,”
jelasku panjang lebar.
Kami
berdua kemudian menengok ke samping ketika tiba-tiba cewek bernama Sophie
beranjak dari duduknya. Mata kami mengikuti ke arah dia berjalan.
“HOI
BODOH! APA YANG KAMU LAKUKAN? JANGAN MEMBUAT MALU!!!!” teriak Sophie dari tepi podium.
Nadia
bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Sophie yang sedang berdiri
berkacak pinggang. “Kenapa dia melakukan itu?”
“Dia
harus mengingatkan Devon, karena kalau permainan Devon masih seperti itu, Devon bisa dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.”
“Ayahnya?”
“Ya.
Devon adalah putra Ruslan Jayadi, mantan pemain sepak bola, andalan PSIS dulu.
Kamu tahulah, sebagai anak laki-laki satu-satunya, ayahnya menaruh harapan
besar padanya untuk meneruskan mimpi.”
“Hidup
dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain,” gumam Nadia.
“Benar.
Tidak hanya Devon sebenarnya. Mereka bertiga juga,” kataku sambil menggerakkan
dagu ke arah Agnes, Sophie, dan Julian. “Mereka itu bunga matahari yang
berusaha mengejar matahari. Padahal, bunga matahari sendiri sudah cantik. Yah,
seperti katamu, karena hidup dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain,
mereka berusaha mengejar bayang-bayang itu hingga mengabaikan kalau sebenarnya
mereka memiliki potensi masing-masing.”
Nadia
mengangguk-angguk lagi, kemudian kembali menonton pertandingan.
“Kereeeeen!”
pekiknya melihat permainan Devon yang sudah berubah 180 derajat. Nadia langsung
melirik ke arah salah satu dari mereka bertiga—Agnes, Sophie, dan Julian—kemudian
menoleh ke arahku dengan muka jahil. “Pasti ada kisah friendzone di antara mereka?”
Aku
tersenyum geli. “Begitulah.”
“CUT!” suara sang sutradara terdengar
lantang. “Oke, kita break dulu
sebelum masuk ke scene berikutnya,”
perintahnya.
“Keluar
yuk beli minum, haus!” ajak Nadia. Meski hanya sebagai pemain figuran, kami
berdua cukup lelah mengikuti jadwal syuting seharian ini.
“Eh
ngomong-ngomong, kamu kok udah tahu detail karakter mereka dan jalan cerita
film Morning Light? Padahal, kan,
baru syuting?” tanya Nadia.
“Film
ini kan diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Dan aku sudah pernah
membacanya.”
“Benarkah?
Boleh pinjam?”
“Oke.
Nanti mampir ke rumahku, ya!” Dan kami pun keluar stadion untuk mencari Pocari
Sweat.
***
“Wih, sampulnya keren. Menarik!” komentar
Nadia begitu ia melihat novel dengan warna sampul dominan kuning itu. “Oh, jadi ini karya Mbak Windhy
Puspitadewi? Pengarang Let Go itu,
kan?”
“Iya. Pernah baca?”
“Pernah, keren! Gagas Media juga
ini?”
“Yap!”
“Pantes
sampulnya keren, bukunya Gagas kan sampulnya juara.” kemudian Nadia membalikkan
novel itu, diam sejenak--mungkin dia sedang membaca sinopsis di sampul belakang.
Aku seperti bunga matahari yang selalu mengejar sinar matahari, hanya melihat pada dia : matahariku. Aku mengagumi kedalaman pikirannya, caranya memandang hidup—malah, aku mati-matian ingin seperti dirinya.
Aku begitu terpesona hingga tanpa sadar hanya mengejar bayang-bayang. Aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendongak sampai lupa kemampuan diriku sendiri. Aku bahkan mengabaikan suara lirih di dasar hatiku. Aku buta dan tuli. Dan di suatu titik akhirnya tersungkur. Saat itulah aku mulai bertanya-tanya: Apakah dengan menjadi seperti dia, aku pun akan dicintai?
“Kayak
kisah cinta, ya?” ujarnya setelah—mungkin—selesai membaca sinopsisnya.
“Awalnya
aku juga berpikir begitu, tapi ternyata enggak. Ini cerita persahabatan, ya
meskipun ada kisah cintanya juga sebagai bumbu. Kalau kamu baca ceritanya, sinopsisnya
tetep nyambung kok sama isinya.”
Dia
kemudian mulai membuka-buka halaman depan novel itu. “Tahun 2010. Berarti
duluan Let Go,” gumamnya. “Gaya
bahasanya tetep baku kayak di Let Go?”
“Iya,
khas Mbak Windhy pokoknya. Baku, aku-kamu, tapi nggak ngebosenin. Itu yang aku
suka dari gaya tulisannya Mbak Windhy. Eh, ada juga. Humornya. Humornya Mbak
Windhy itu berkelas, enggak murahan, meskipun pakai bahasa baku, aku tetep bisa
terkikik kalau baca.”
Nadia
mengangguk-angguk sambil tetap membolak-balikkan halaman demi halaman novel. “Eh,
tapi novel ini tipis juga ya, 175 halaman.”
“Yap,
aku nggak sampai sehari udah selesai baca. Tipis memang, tapi apa yang kamu
bakalan dapet dari novel ini banyak banget. Serius! Meskipun sebenernya jalan
ceritanya ketebak, tapi aku menikmati setiap bagian menuju akhir cerita ini.”
“Recommended nggak?”
“Recommended dong! Bagiku, novel itu
bagus kalau bisa membuatku tidak berhenti membaca sebelum halaman terakhir, dan
bisa menginspirasiku. Bahkan menginspirasi untuk ikut menulis. Dan Morning Light memenuhi keduanya. Empat
dari lima bintang lah.”
“Oke,
aku pinjam, ya?” kata Nadia akhirnya.
Aku
mengangguk mengiyakan. Semakin banyak yang baca, semakin banyak yang akan
terinspirasi juga, kan?