Rabu, 15 Agustus 2012

Aku, Mereka, dan Masjid Kami (karena ternyata perjuangan itu indah)


Gue bukan orang hebat, gue bukan pahlawan, gue bukan orang berjasa yang punya pengaruh besar.
Gue hanyalah gue, remaja biasa yang pernah berusaha berjuang untuk ‘ada’ di daerah gue.

Semua ini tentang daerah gue, masjid gue, pengajian di daerah gue. Gue sadar, daerah gue bukanlah daerah dengan agama yang baik. Kami punya masjid, tapi bisa dibilang itu hanya simbol. Kami nggak kayak daerah lain yang punya kegiatan segudang di masjid. Nggak ada pengajian peringatan keagamaan, nggak ada tadarusan tiap ramadhan, nggak ada mabit atau lomba-lomba kayak daerah lain. Gimana mau ada, remaja masjid pun nggak ada di daerah gue. Bahkan pengajian TPA pun seperti hidup segan mati tak mau.

Sekali lagi gue bukan orang hebat. Tapi setidaknya gue pernah berusaha.

Tahun pertama gue masuk SMA, gue punya tekad besar untuk menghidupkan masjid gue. Hal yang menjadi tujuan terbesar gue gabung di Rohis Al-Farabi adalah gue pengen ada pengajian TPA di masjid gue.

Dan dari sana semua bermula. Gue dan mereka, teman seperjuangan di kampung, (berusaha) melahirkan kegiatan itu.

Dari yang semula tidak ada, kini menjadi ada.
Dari yang semula pengajian TPA hanya ada di bulan ramadhan, kini sudah bisa rutin di bulan-bulan lain.
Dari yang semula tidak ada remaja masjid, kini kami punya KORMA. Yang sampai sekarang masih terus menggeliat untuk tumbuh.
Dari kita hanya bisa menjadi penonton lomba takbir keliling di kecamatan, kini akhirnya dalam empat tahun terakhir kita bisa menjadi peserta.
Dari semula kami beragam, hingga di tahun kedua kami bisa mengadakan seragam kaos untuk remaja.
Dari semula hitam putih, di tahun ketiga kami bisa membuat seragam untuk semua adik-adik kami.
Dari semula kami hanya mengandalkan kemampuan yang tidak bisa diandalkan, tahun ketiga kami sudah bisa membayar udztad untuk mengajar adik-adik kami.
Dari semula tidak ada perhatian dari orang tua, tahun lalu akhirnya kami sudah bisa bekerja sejalan dengan sesepuh.
Dari semula kami nggak kenal sama yang namanya lomba keagamaan, kini sudah ada lima piala terpajang di atas lemari masjid kami.
Dari semula kami nggak ada dana, sampai pernah jualan barang bekas buat nambah kas, atau narikin SPP Rp5.000/santri buat bayar udztad. Hingga kini kami udah dapet kepercayaan dan bisa dengan mudah minta dana dari takmir.
Dari mulai jaman dulu masih berjuang bersepuluh, hingga kini tinggal tiga biji doang. Temen-temen gue akhirnya udah pada kerja.
Dari jaman generasi kami nggak punya cowok, sampai sekarang generasi berubah menjadi minim cewek. Dulu nganterin zakat, nyari penceramah tarawih, ikut ngebagiin daging kurban, bikin spanduk dan lampion, kerja bakti, mimpin takbir, semua kami para cewek yang bergerak. Entah karena memang benar-benar nggak ada remaja cowok atau emang yasudahlah-anggap-saja-memang-tidak-ada. Yang jelas, kami benar-benar merindukan sosok seorang cowok yang bisa menjadi pemimpin.    

Kita lahir bukan tanpa halangan. Masalah hampir selalu ada. Kami pernah mengalami pasang dan surut. Kami sering mengalami konflik intern. Kami pernah menghadapi masalah ekstern. Kami sering mengalami fluktuasi semangat. Kami sering menghadapi kejadian di luar dugaan. Dan semua itu mewarnai perjuangan kami selama ini.

Semua ada. Nano-nano. Gue pernah ngerasain semuanya di sini.

Mulai dari sedih dan mirisnya gue menyadari kondisi yang ngenes ini.
Jengkel dan emosi menghadapi temen-temen atau adik-adik yang kadang emang susah banget diajakin kerja bareng.
Marah ngurusin adik-adik yang suka bandel.
Capek dan pusing harus mikir dan ngurusin ini-itu.
Kecewa.
Bangga sama mereka yang akhirnya bisa mewujudkan mimpi ini.
Terharu dengan kerja keras dan perjuangan mereka.
Kangen sama senyum adik-adik yang selalu bisa jadi obat kala dulu gue jenuh sama kegiatan sekolah.
Trenyuh tiap kali gue datang disambut dengan cium tangan adik-adik. Sumpah gue berasa apa gitu diginiin.
Rame, seru, seneng.
Tawa dan tangis.
Manis dan pahit.
Dan di sinilah gue pernah bener-bener pengen dilahirin sebagai seorang laki-laki. Di banyak kejadian, gue bener-bener pengen menjelma sebagai seorang cowok biar gue bisa bertindak lebih dari apa yang udah gue lakuin.

Dan ini adalah tahun kelima. Dimana gue udah mulai jenuh dan lelah. Dimana gue udah nggak punya temen seperjuangan dan mulai merasa pengen udahan aja. Gue udah pengen banget rasanya nggak mau tahu tapi tetep aja kepikiran. Gue pengen tiap sore ikutan bantu nyiapin buka di rumah sama ibu, bukannya di tiap jam empat udah pergi ke masjid. Gue pengen menjelang lebaran fokus ngurusin rumah bukannya bikin ini-itu di masjid.

Ya. Mungkin inilah saatnya perjuangan ini dilanjutkan oleh mereka. Gue udah udzur dan organisasi ini butuh sesuatu yang lebih segar. Tahun depan gue udah kerja, dan itu artinya gue harus mulai mundur dari sini. Bukan. Bukan berarti gue melepaskan, karena gue juga masih pengen ikut dalam perjuangan yang belum ada apa-apanya ini. Gue hanya perlu memberikan tanggung jawab ini pada mereka. Pada Rudi, Yadi, Yanto, Ardi, Diva, Tata, Eli. Gue menaruh harapan besar pada mereka.

Seperti yang kemarin sore gue bilang pada mereka bahwa generasi kami sudah mulai punya kesibukan sendiri. Dan kami sudah menyerahkan semua ini pada mereka. Kami bukan melepaskan, kami hanya berjalan di belakang mereka.

Gue sadar, nggak selalu butuh seseorang yang alim dan berpengetahuan agama luas buat nerusin perjuangan ini. Toh nyatanya, sampai sekarang belum ada sosok yang patut menyandang predikat itu di daerah gue. Remaja yang bisa baca Al-Quran bahkan masih bisa diitung pakai jari. Kami hanya butuh orang-orang yang mau berjuang untuk mempertahankan semua yang udah ada ini.

Sekarang, gue sedang merenung. Semacam flash back tentang apa yang udah gue lakuin. Gue sadar masih banyak yang sebenernya harus dilakukan. Masih banyak PR yang belum dikerjakan. Masih banyak mimpi yang belum diwujudkan. Masih harus ada kerja lebih keras lagi setelah ini. Entah gue masih bisa ikut merasakan atau tidak.

Ini bukan perjuangan yang sulit. Ini juga bukan perjuangan yang besar. Tapi semua ini juga bukan merupakan pencapaian yang bisa diremehkan.

Kadang gue merasa bangga meskipun semua ini belum ada apa-apanya. Semua ini masih jauh, sangat amat jauh dibandingkan dengan daerah-daerah lain di luar sana.    

Yang jelas, kini gue jadi sadar kalau perjuangan itu ternyata indah dan manis. Pencapaian yang ada membuat gue sadar kalau ternyata gue punya adik-adik yang membanggakan, yang di tangan mereka. . .gue manaruh harapan besar. Gue pengen semua lebih baik di tangan mereka. Gue pengen mereka bisa bertindak lebih dari apa yang telah kami lakukan. Gue pengen lebih banyak mimpi yang terwujud di tangan mereka.

Last, gue ingin mengucapkan selamat berjuang kepada mereka. Meskipun gue nggak ingin pergi. Gue masih ingin dan harus ada di sini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar