Kamis, 23 April 2015

Ibu dan Anak Laki-lakinya

Kamis sore, perempuan itu berjalan menuju kamar anak laki-lakinya—yang sejak pulang sekolah tidak keluar kamar.

Setelah mengetuk tiga kali, Ibu langsung membuka pintu berwarna cokelat itu. Dilihatnya anaknya sedang bermain dengan kamera, tripod, dan laptopnya. Kamarnya berantakan dengan berbagai macam guntingan kertas dan ornamen lainnya. Ibu tersenyum kecil, anaknya benar-benar menuruni hobi ayahnya.

“Bikin apa, kok betah banget.”

“Biasa.”

Sebenernya Ibu hanya berbasa-basi, dia sudah paham kalau anaknya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengutak-atik foto atau video.

“Siapa yang ulang tahun?”

“Temen, Bu.”

“Cewek, ya?” Ibu melihat gutingan huruf disusun membentuk sebuah nama perempuan.

Anak laki-lakinya tidak menjawab. Ibu hanya tersenyum kecil. “Nanti pengen buka puasa apa?”

“Yang seger dan berkuah.”

 “Okay, capt. Ibu ke dapur dulu.” Ibu beranjak keluar, kemudian urung karena anaknya memanggilnya.

“Bu.”

“Ya?”

Anaknya terlihat ragu-ragu bertanya, “Cewek itu…gimana cara memperlakukan cewek?”

Anaknya nyengir. Garuk-garuk kepala.

Ibunya tersenyum kecil. Sebenarnya, dia sudah tidak tahan untuk tidak komentar ‘ciee cieee ada yang jatuh cinta , nih’. Tapi tidak dia lakukan. Pertama, laki-laki itu sangat jarang curhat. Kedua, anaknya pasti sudah mengumpulkan keberanian untuk menanyakannya. Jadi, jangan dirusak momennya.

“Kamu suka ya sama cewek ini? Nggak papa. Perasaan suka itu fitrah, kok, asal kamu bisa mengelolanya.” Ibu kembali duduk di ranjang. “Kalau emang pengen tahu cewek, nggak usah pdkt-pdktan. Nggak usah sok-sok ngasih perhatian dan semacamnya. Nanti bikin cewek bingung. Cewek, kan, suka kepastian. Dan selama kamu belum bisa ngasih kepastian, jangan sekali-kali memberikan harapan.”

“Terus?”

“Jadilah temannya. Teman biasa. Kenali baik-buruknya. Kalau emang sreg, baru eksekusi. Daripada pdkt-pdktan, ceweknya udah kerasan tapi ternyata banyak sifat yang tersembunyi, yang bikin nggak sreg. Terus kamu menghilang. Kan, kasihan anak orang.”

“Dulu ayah gitu, ya?”

“Tanyakan saja pada ayah.” Ibu tersenyum jahil.

Anaknya melengos. “Nanya sama ayah bukannya dapet penjelasan malah diketawain.”

“Kenali saja dulu. Jangan buru-buru jatuh hati. Semua sifat buruk tidak akan serta merta tumpah hanya karena perkenalan.”

Ada jeda cukup lama di antara mereka.

“Nikmati aja sensasinya.” Ibu terkikik geli. “Asal kamu tahu batasan. Asal kamu tidak memberikan harapan kalau memang belum bisa memberikan kepastian.”

Anak laki-laki itu paham maksud ibunya.

“Dulu ibu pernah suka sebelum sama ayah?”

“Pernah.”

“Nggak papa?”

“Ya, nggak papa. Ayah juga begitu, kok. Yang terpenting, bisa menjaga apa yang semestinya dijaga. Yang terpenting, ketika  sudah bertemu dengan ayah, hanya ayah yang membersamai ibu menuju kebaikan. Pun sebaliknya. Masa lalu itu hanya sebuah pembelajaran.”

Kemudian anak laki-laki itu kembali terdiam. Sepertinya sedang mencerna kata-kata ibunya.

“Ah ya udah, deh. Lagian masih SMA,” gumamnya kemudian.

Ibunya tertawa kecil.

“Jodoh itu unik, kok. Mungkin dulunya pernah bertemu, saling sapa, saling bercanda. Tapi Allah masih menutupi takdirnya. Pas bener-bener ditemukan, dibuat ternganga karena ternyata dia adalah orang yang diam-diam kita kagumi. Mungkin tanpa dia tahu, kita sudah tertarik kepadanya lebih dulu. Lucu kan? Diam-diam saling memendam, atau bisa jadi sudah sama-sama menyebut dalam permohonan.”

“Ibu sedang membicarakan kisah cinta dengan ayah, ya?”

“Memangnya siapa lagi?”

“Heuuuuh!” anaknya mencibir. Ibu hanya terkikik geli.

“Sudah, ya. Ibu ke dapur. Ingat ya pesan ibu, jangan memberikan harapan kalau belum bisa ngasih kepastian. Berteman saja dulu, berteman biasa. Lanjutin tuh stop motion-nya, ngasihnya bareng-bareng sama yang lain.”

Anaknya mengangguk. Ibu pun berlalu keluar, mengambil ponselnya untuk mengirim sebuah pesan.

To : Ayah
Mas, nanti menu buka puasa pengennya apa?

From : Ayah
Pengennya? Menunya…
….kamu :*

Then, there is a butterfly in her stomach. Laki-lakinya itu memang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali, setiap hari.

-END-

Habis ikutan seminar dan pulang harus bawa sesuatu. Jadilah ini.
Tulisan ini terinspirasi dari banyak hal. Dari seminarnya Asma Nadia, buku Hujan Matahari, novel Sabtu Bersama Bapak, tumblr Jalansaja, dan lain-lain :p
 

Rabu, 15 April 2015

Bisa Apa?

Cewek itu harus bisa.

Harus bisa jaga diri. Bisa masak. Bisa cari uang sendiri. Bisa jaga kesehatan. Bisa benerin kancing baju yang lepas. Bisa gantiin popok bayi. Bisa bebenah rumah. Bisa masang galon. Bisa nyuci baju. Bisa milih-milih kain. Bisa dongengin anak kecil. Harus paham sama obat-obatan. Harus bisa mengelola keuangan. Bisa matching-in baju. Harus bisa ngaji. Harus bisa merawat tanaman dan bunga-bunga. Harus bisa ngurus orang sakit. Harus bisa setrika. Harus bisa ngajarin ngerjain PR. Harus bisa jadi tempat curhat. Bisa memenuhi gizi keluarga. Bisa masang dasi. Harus bisa jadi rumah. Harus bisa bangun lebih pagi dan tidur lebih malam. Harus bisa cantik. Harus bisa bersosialisasi. Harus bisa merancang tujuan. Harus inget kapan harus bayar tagihan listrik dan air. Harus bisa pasang gas. Harus berbakat dan berprestasi. Harus multitasking. Harus mandiri tapi bisa manja pada tempatnya. Harus nggak gampang bawel lalala. Harus ngangenin. Harus punya skill. Harus pandai berkomunikasi. Harus bisa memijit. Harus bisa child handling. Harus bisa naik motor mobil sendiri. Harus bisa kuat hatinya. Harus bisa menemtramkan dan meneduhkan. Harus bisa origami. Harus tahu banyak hal. Dan harus bisa ngurus kamu.

Susah, ya? Iya.
Harus banyak belajar.
Nanti kalau capek, sediain pundak.
Mau, kan?

Seseorang yang Akan Kamu Nikahi Nanti

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti mungkin bukanlah orang baik. Akhlaqnya masih jauh dari kata terpuji. Bicaranya masih lalala seenaknya. Ibadahnya masih semaunya. Amalannya masih mau tak mau.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti hari ini belum dewasa. Dia masih suka galau-galauan. Emosinya masih labil. Pemikirannya masih belum matang. Masih suka ngambek, ngeluh-ngeluh, dan nangis tanpa alasan. Dia masih seperti anak-anak.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti hari ini masih terlalu lemah untuk menjaga dirinya sendiri. Terutama menjaga hatinya.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti hari ini masih belum bisa mengurus rumah dan memasak. Dia masih sering malas untuk bebenah dan belajar meramu bumbu.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti hari ini belum bisa mengatur keuangan. Dia masih sering khilaf dan dzalim terhadap isi rekening.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti mungkin bukan sosok keibuan yang luwes mengurus anak. Dia masih sering tidak sabaran menghadapi anak kecil. Dia belum bisa menakar susu dan membuat bubur.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti mungkin tidak pandai merawat diri. Dia tidak bisa berdandan ala-ala mbak-mbak jilbab pastel di luar sana.

Seseorang yang akan kamu nikahi nanti mungkin bukanlah orang hebat. Dia tidak sempurna. Dia penuh dengan kekurangan. Sabar sabarlah menghadapi dan membimbingnya nanti. Dia membutuhkanmu untuk menjadi lebih baik.


Dari seseorang yang akan kamu nikahi nanti,
aku

Tentang Laki-laki Itu

Ada seorang laki-laki yang diam-diam selalu menyebut namaku dalam setiap doanya. Meminta-Nya agar aku selalu dilindungi dan tak kurang suatu apa.

Ada seorang laki-laki yang tak banyak bicara tapi selalu mencari tahu kabar dan memantau perkembanganku. Memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Ada seorang laki-laki yang mati-matian membahagiakanku. Setiap usahanya adalah untuk memberikan yang terbaik untukku.

Ada seorang laki-laki yang selama ini menjagaku dengan sempurna. Dia amat menyayangiku.

Aku tak tahu apa jadinya jika kelak ada laki-laki lain datang kepadanya untuk memintaku. Karena meskipun terlihat tidak peduli, nyatanya dia adalah orang yang paling khawatir jika aku jatuh cinta.

Nanti jika kamu datang, mintalah aku dengan cara baik-baik. Mungkin tidak akan mudah, karena dia tidak akan begitu saja mempercayai laki-laki lain untuk mengambil alih tangungjawabnya terhadap putri kecilnya.

Kamis, 09 April 2015

A Letter to Myself



Hi, Hanif. It’s have been 22 years. Perjalanan yang ternyata sudah cukup panjang. Apa kabar kamu hari ini setelah memutari matahari sebanyak 22 kali?

Untuk perjalanan ini, aku ingin berterima kasih. Terima kasih telah mau belajar. TK dua tahun, SD enam tahun, SMP tiga tahun, SMA tiga tahun, kuliah setahun. Terima kasih untuk telah belajar dari orang-orang yang kamu temui, keadaan yang kamu alami, dari setiap tahapan yang kamu lalui. Ke depan, kita harus terus belajar dari (si)apapun. Jangan pernah lelah :)

Terima kasih sudah mau berprestasi. Terima kasih sudah selalu membawa pulang hasil rapor yang selalu membuat bapak dan ibu tersenyum. Terima kasih sudah mau ikut lomba-lomba (meskipun sering hanya jadi penggembira). Terima kasih sudah pernah mengisi etalase piala di rumah dan sekolah. Tidak perlu membandingkan dengan prestasi orang lain, karena patokanmu adalah dirimu sendiri. Seberapapun yang pernah kamu raih, setidaknya kamu sudah berusaha :)

Terima kasih sudah mencoba banyak hal. Terima kasih untuk telah tergabung dalam organisasi. Tidak peduli apa posisimu, yang penting kamu bisa belajar di sana. Terima kasih telah mau repot ngurus ini itu. Hari ini, sudah siap untuk wira-wiri lagi?

Terima kasih sudah nurut sama bapak ibuk. Terima kasih sudah selalu berusaha untuk tidak membuat bapak ibuk marah (tapi kalau jengkel sih, sering hihi). Nyari transportasi yang enak untuk pulang yuk, biar bisa sering pulang tanpa harus ngrepotin bapak.

Terima kasih sudah berkahayal dan bermimp, dan memperjuangkannya. Di depan, masih banyak mimpi yang harus kita wujudkan :)

Terima kasih sudah mau jalan-jalan keluar rumah. Terima kasih sudah mencari pengalaman. Kaki ini masih perlu kita ajak jalan lebih jauh lagi. Di luar sana banyak tempat yang menanti untuk kita kunjungi. Di luar memang menyenangkan, tapi tidak ada tempat ternyaman untuk pulang selain rumah :)

Terima kasih sudah mau berteman dengan orang-orang dan tidak membiarkan dirimu sendiri. Terima kasih telah mendengarkan mereka, telah memperhatikan mereka, telah membantu mereka, dan belajar dari mereka. Jagain mereka yaa, hidupmu indah karena mereka :)

Terima kasih sudah mau membaca dan menulis, dan jangan pernah berhenti melakukan dua hal itu sampai kapan pun :)

Terima kasih sudah nakal dan pernah salah. Sudah tahu rasanya, kan? Paling ya begitu saja. Lebih enak jadi orang baik, kok :)

Terima kasih sudah memilih dan mengambil keputusan. Kalau kamu sudah sampai di sini, kamu tidak perlu menyesali yang sebelumnya. Begitu kata bapak :)

Terima kasih sudah berusaha menjadi baik. Sudah berusaha nurut sama Allah meski masih sering nakal. Sudah mau solat lima waktu meski sering telat. Sudah mau berjilbab meski belum bener. Sudah mau baca Quran meski masih sering males. Nggak papa, asal jangan berhenti berusaha :)

Terima kasih sudah macam-macam. Sudah nonton film. Sudah mencoba berbagai macam makanan. Sudah dengerin musik. Sudah nonton bintang. Sudah menikmati senja. Sudah nge-MC. Sudah nari. Sudah gambar-gambar geje. Sudah bikin catatan suara ala-ala penyiar radio.

Terima kasih sudah mau bekerja. Terima kasih sudah punya uang sendiri. Terima kasih sudah mau menabung. Jangan lupa bersyukur dan berbagi :)

Terima kasih sudah jatuh hati dan patah hati. Terima kasih sudah galau-galauan. Dan terima kasih sudah mau berusaha mempersiapkan diri untuk dipertemukan dengan yang sejati :)

Terima kasih sudah menjadi diri sendiri. Sudah menjadi Hanif Amanati. Kita akan menjalankan banyak peran. Sebagai hamba-Nya Allah, sebagai anak, sebagai teman, sebagai abdi negara, sebagai istri, sebagai ibu. Tapi di luar itu, kita harus tetap menjadi kita :)

Sekali lagi, terima kasih.

Sincerely,
part of you
***

Sesekali mungkin kita perlu menghargai diri sendiri :)