Jumat, 24 Agustus 2018

NHW #4 IIP – MENDIDIK DENGAN KEKUATAN FITRAH


Masya Allah, sudah sampai pekan keempat ternyata. Dibandingkan dengan NHW sebelumnya, sepertinya NHW kali ini tugasnya semakin banyak. Hahaha. Setelah dibuat baper di NHW #3 minggu lalu, NHW #4 ini kami dituntut untuk segera move on dan menentukan banyak langkah.

Jadi di NHW #4 kali ini, kami diminta untuk melihat lagi apakah jurusan ilmu yang kami pilih di NHW #1 memang sudah benar-benar jurusan yang tepat, atau justru merasa salah jurusan. Macam anak kuliahan, banyak yang setelah mempelajari mata kuliah lalu baru menyadari bahwa mereka salah jurusan.

Bismillah, insha Allah saya tetap melanjutkan jurusan ilmu yang sudah saya pilih, yaitu ilmu agama. Hanya saja, harus lebih spesifik. Hidup kita di dunia sesungguhnya untuk menjalankan segala perintah-Nya. Hal-hal yang sering membuat kita khawatir, lelah, dan sebagainya sesungguhnya dikarenakan kita sedang mengejar dunia. Dan sepertinya, itu yang saya alami saat ini.

Ingin saya fokus pada ilmu parenting, mendidik anak, mencetak generasi yang luar biasa. Tapi lantas saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa saya ibu bekerja. Sebagai PNS Kementerian Keuangan, dengan jam kerja full seharian, dan tempat kerja selalu berpindah-pindah. Lalu, apakah saya bisa? Rasanya pengen resign tapi masih banyak hal yang harus dipertimbangkan. Haruskah saya resign dan fokus pada parenting? Ataukah saya harus membuktikkan bahwa saya bisa menjadi pekerja yang sekaligus menjadi ibu yang berhasil mendidi anaknya? Sepertinya butuh perjalanan yang tidak singkat untuk menemukan jawabannya.


  1. Saya tetap memilih untuk belajar agama. Sejauh yang saya rasakan akhir-akhir, saya semakin semeleh. Semakin memiliki memiliki keyakinan bahwa tak perlulah mengejar dunia, yang terpenting kita melaksanakan apa yang Allah perintahkan. Semakin yakin juga bahwa saya harus resign, apalagi semenjak ikut IIP. Wkwk. Tapi sepertinya jalan masih panjang.
  2. Sudahkah konsisten dengan ceklist? Belum. DOOHHH, HANIF GIMANA SIH???? 
  3. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat, yang bisa memberikan inspirasi bagi orang-orang. Dalam hal : menjalani perani sebagai ibu yang juga bekerja (mungkin nanti bisa menjadi pejuang ASI yang menginspirasi, dll).U
  4. Untukbisa ahli di bidang tersebut, saya harus belajar : ilmu tentang kehamilan dan persalinan (Gentle Birth), ilmu tentang per-ASI-an (ingin gabung AIMI), ilmu tentang perawatan bayi, ilmu stimulasi tumbang anak.M
  5. Milestone: KM 0 – KM 1 (1 tahun) : menguasai ilmu seputar kehamilan dan persalinan
    KM 1 – KM 2 (1 tahun) : menguasai ilmu perawatan bayi dan stimulasi tumbuh kembang
    KM 2 – KM 3 (tahun-tahun berikutnya) : mempraktekkan ilmu parenting.
  6. Saya sudah memasukkan waktu untuk belajar dan membaca di indikator NHW #2. Lalu harus saya tambahkan bahwa saya harus ikut seminar, kelas-kelas diskusi, forum tatap muka minimal enam bulan sekali.
  7. Bismillah

Saya menyadari bahwa kurikulum yang saya buat ini masih jauh dari sempurna, kurikulum ini akan terus saya perbaiki, saya harus terus belajar, saya harus terus menyesuaikan diri. Semoga nanti saatnya saya benar-benar menemukan tujuan hidup sejati, yang akan terus diperjuangkan.

Jumat, 17 Agustus 2018

NHW #3 IIP -- MEMBANGUN PERADABAN DARI RUMAH

Katanya, orang LDR itu justru banyak kangennya dan tiap ketemu bisa quality time. Sepertinya ini terjadi pada saya. Karena komunikasi lebih sering lewat tulisan, jadi lebih mudah pula mengungkapkan perasaan. Lebih sering bilang kangen, lebih sering bilang sayang. Kalau ketemu juga seringnya isinya manis-manis, entahlah mungkin karena masih menuju tahun ketiga pernikahan. Tapi semoga seterusnya begini.

Dan, mumpung lagi ketemu suami. Sekalian ngasih suratnya, hehe. Here it is. Begitu baca suami malah ngeciein dan lanjut ketawa, tapi setelahnya, "Sini, kucium." Lalu cium kening lama. Moon maap para single. Hehehe.

Untuk Mas Dian, ayahnya Uwais yang superb. 

Masih inget nggak, Mas, waktu dimana kita bener-bener bingung harus mengambil banyak pilihan di waktu yang singkat? Sampai rasanya mbuh banget waktu itu. Dengan kondisiku masih mual muntah karena awal kehamilan dan kamu sariawan parah sampai demam. Waktu itu kita nangis bareng di dapur kontrakan, lalu ketawa karna udah saking bingungnya nggak tahu harus gimana. Menyedihkan sekali rasanya waktu itu, tapi alhamdulillah semua sudah terlewati. 

Aku pernah bilang kepada seorang teman, "Nggak ngerti lagi apa jadinya kalau nggak ada Mas Dian. Nggak ngerti lagi apa jadinya kalau suamiku bukan Mas Dian." Dan aku pernah bilang sama kamu, "Aku dititipi Uwais, karena suamiku kamu." 

Ya, Allah mentipkan Uwais yang spesial di rahimku, karena aku didampingi suami yang juga spesial. Dan itu, kamu. 

Perjalanan kehamilan kemarin bukan sesuatu yang mudah, tapi denganmu, aku bisa melewatinya. Yaaa, meski penuh dengan air mata, wkwk. 

Terima kasih telah sabar. Terima kasih sudah mengatakan, "Ditanya apa sama orang-orang? Kalau ada yang aneh-aneh bilang, ya!" Hanya demi menjaga agar hatiku tidak disakiti oleh omongan orang. Kamu tau lah, aku anaknya memang super sensitif. 

Terima kasih sudah jadi suami dan ayah yang penyayang dan ngemong banget. Terima kasih sudah selalu berusaha  memberikan yang terbaik untuk keluarga. Terima kasih sudah selalu mengutamakan agama setiap mengambil tindakan. Terima sudah rela PP Jakarta-Jogja tiap minggu Demi aku. Terima kasih kemarin sudah rela PP bintaro-jakpus-bintaro-jakpus lagi cuma demi nganterin istrinya ke  kampus. Kamu rela berkorban banget demi nyenengin istri, nggak paham lagi 😭😭😭

Sehat-sehat terus ya, Mas. Kehilanganmu adalah ketakutan terbesarku saat ini. Cukuplah Uwais yang duluan ke surga, Mas jangan dulu. Sama-sama aku dulu di dunia. Dan semoga kelak, kita juga sama-sama di surga. Berkumpul lagi satu keluarga. 

I love you, Mas Dian. Cieee. Wkwkwk.

Yaaa begitulah isi suratnya hehehe. Saya merasakan bahwa kehadiran Uwais, semakin menguatkan cinta saya pada suami #CIEEE.

Uwais adalah anugerah indah bagi kami. Anak yang kuat, anak yang penurut, anak soleh yang insha Allah sudah menunggu di surga. Betapa saya terkagum dengannya yang mendengarkan seluruh afirmasi positif saya. Sejak dalam kandungan hingga dia tiada.

"Uwais, ayah sama ibuk jangan dilimpe (ditinggal pergi tanpa pamit) ya, Le," pesan saya ketika melihat kondisinya sudah semakin menurun, tapi kami terlalu lelah dan ngantuk. Saya tidur sebentar, lalu bangun. Dia ngompol, lalu saya gantiin, saya lap pula tubuhnya biar seger, sekalian ganti baju. Setelahnya dia gumoh, lalu saya angkat, saya timang-timang, dan tak lama setelahnya, seusai subuh dia kembali ke pangkuan-Nya. Betapa di detik-detik terakhir pun dia masih menuruti apa yang saya minta. Entahlah bagaimana rasanya jika dia meninggal saat kami tertidur.

Ah, jadi rindu. Hehehe. Allah begitu luar biasa. Dan NHW #3 ini benar-benar bikin baper. Hahaha.

Well, saya rasa cukup haru birunya. Next, masih ada dua poin ya harus dibahas di NHW #3. Yaitu potensi diri. Kata orang batas toleransi saya itu tinggi. Jadi apa yang membuat orang tersinggung, belum tentu membuat saya tersinggung. Ya sih, saya ini nggak bisa marah, bisanya diam memendam. Lalu nangis, eh. Hehe. Saya punya empati tinggi, perasa, peduli dengan orang lain. Dan ini membuat saya selalu ingin membahagiakan semua orang. Saya sering menjadi orang yang dicurhati banyak orang. Di keluarga juga. Ibu jika ingin menasehati adek, pasti minta saya. Adek jika ingin ini itu, pasti minta tolong saya buat ngomong ke bapak ibu. Dan di keluarga besar juga seperti itu. Saya termasuk orang yang sering diminta tolong, terutama juga dalam hal finansial. Alhamdulillah suami pun mendukung.

Dalam half finansial ini, sebenarnya ada yang ingin saya ubah cara pandangnya dari keluarga dan lingkungan saya. Keluarga saya sebagian besar PNS, dan masih beranggapan bahwa sukses itu ya jadi PNS. Selepas kuliah ya harus kerja. Jadi perempuan ya tetap harus mandiri secara finansial.

Ini yang sebenarnya ingin saya ubah, saya ingin keluarga besar saya menghargai bahwa perempuan yang sekolah tinggi dan bercita-cita menjadi ibu rumah tangga pun tidak layak untuk dipandang sebelah mata.

Kamis, 09 Agustus 2018

NHW IIP #2 - MENJADI PEREMPUAN PROFESIONAL


Saya ingat, beberapa tahun lalu saya pernah menulis sebuah paragraf pendek tentang cewek harus bisa. Kebetulan tulisannya masih ada, bisa dicek di Cewek Harus Bisa

Memang yaa, menjadi perempuan itu harus serba bisa. Terlebih, nantinya perempuan akan menjalankan banyak peran. Sebagai perempuan itu sendiri, sebagai anak, sebagai menantu, sebagai istri, dan sebagai ibu. Sungguh bukan peran ‘taken for granted’, bukan peran yang layak dijalani dengan ‘yaudahlah dijalani aja, nanti juga terbiasa’. Sungguh harus ada visi misi, dan peran-peran tersebut harus dijalani dengan sadar.

NHW #2 kali ini membahas tentang indikator-indikator profesionalisme perempuan sebagai individu, istri, dan juga ibu. Yaps, kita sendiri yang harus menyusun indikator itu. Mungkin terlalu banyak keinginan, harus bisa ini harus bisa itu harus bisa semuanya. Maka dengan indikator inilah, semua akan menjadi lebih jelas dan realistis.

Setiap indikator harus disusun dengan SMART. Specifik (unik), Measurable (terukur), Achievable (bisa diraih), Realistic (berhubungan dengan kondisi sehari-hari), Timebond (batas waktu). Tidak perlu muluk-muluk, yang penting istiqomah dipraktekkan dan diharapkan nantinya menjadi kebiasaan yang dapat membawa perubahan lebih baik.

Well, berikut hasil indikator profesionalisme perempuan versi saya.

Sebagai Individu
Berhubung di NHW #1 saya memilih ilmu agama Islam sebagai jurusan yang saya pilih, maka untuk indikatornya saya isi dengan hal-hal yang bisa membuat saya lebih baik dalam agama.



Sebagai Istri
Dalam Islam, seorang istri diwajibkan untuk taat kepada suami, bermuka manis dan selalu menyenangkan suami, menjaga harta dan kehormatan, serta tidak melakukan hal yang membuat murka suami.



Sebagai Ibu
Nah, ini mungkin yang masih ngawang-ngawang karena belum benar-benar praktek ngurus anak. Jadilah, indikator yang saya buat yang sekiranya bisa saya lakukan sejak masih promil. Pendidikan anak dimulai sejak seorang suami memilih istri, bukan? *ngeles, wkwk

Sebagai anak dan menantu
Saya tambahi satu indikator lagi, hehehe. Semoga saya selalu ingat untuk terus berbakti kepada orang tua, pun juga mertua. Semoga saya terus sadar bahwa suami saya selamanya milik ibunya. Saya…jadi milik Allah aja >.<



Kata mbak fasil, yang terpenting adalah terlaksana. Bukan tentang seberapa keren kegiatan, tapi mulailah dengan kegiatan sederhana yang penting bisa dilaksanakan terus menerus. Menurut teori, sebuah kegiatan akan menjadi kebiasan jika dilakukan terus menerus selama 66 hari, atau kurang lebih dua bulan. Maka indikator ini saya susun untuk dua bulan ke depan, dan nantinya akan dievaluasi lagi, untuk dibuat indikator baru. Bismillah.