Selasa, 31 Juli 2012

Bukan Diriku (cerpen)

Yuhuuuu, ini sebenernya ada sequel dari cerpen Ku Cinta Kau dan Dia, bagi yang belum baca bisa buka link ini http://www.facebook.com/notes/hanifa-amanati/ku-cinta-kau-dan-dia-cerpen/225182650828456

Enjoy this story :)


Bukan Diriku

Setelah kupahami
Ku bukan yang terbaik
Yang ada dihatimu

Tak dapat ku sangsikan
Ternyata dirinyalah
Yang mengerti kamu
Bukanlah diriku
***


From : Rio :)
Via, Ify bilang kalau dia suka aku

Deg! Napasku tercekat. Ku pandangi sekali lagi deretan kalimat di layar ponsel yang sukses membuatku tak bernapas beberapa detik. Aku mengejanya hingga tingga kali untuk meyakinkan bahwa kalimat itu tidak salah susun. Dan ternyata benar. Rangkaian huruf itu sama sekali tak berubah dari tempatnya. Masih tetap di sana. Menjadi pagar dan mengunci bibirku hingga tak mampu meluncurkan satu patah kata pun.

Hatiku nyeri. Aku merasa seketika ada ribuan duri-duri kecil menghujam tepat di ulu hatiku. Perih.

Aku gamang. Tak percaya kalau sesuatu yang sedari dulu kutakutkan kini terjadi.

Kacau. Aku tersenyum. Tapi mataku kebas.

“Heh! Kenapa?” Zahra menyenggol bahuku pelan.

Aku mengedipkan mataku beberapa kali agar kristal bening yang telah berkumpul di pelupuk mataku itu tidak jatuh. Sebelum menjawab, aku berdehem sebentar untuk menghilangkan serak di tenggorokanku. “Eh, nggak papa kok. Gue duluan ya.”
***

Kini maafkanlah aku
Bila ku menjadi bisu
Kepada dirimu

Bukan santunku terbungkam
Hanya hatiku terbatas
Tuk mengerti kamu
Maafkanlah aku
***

7 missed calls. 3 messages received.
Dan ke semuanya berasal dari satu nama. Dia.

From : Rio :)
Kamu jangan marah dulu yaa

From : Rio :)
Via, angkat teleponku :)

From : Rio :)
Vi, ini semua nggak seperti yang kamu bayangin. Jangan mengambil keputusan apapun dalam keadaan emosi. Kita butuh bicara :)

Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya hanya dalam sekali hembusan. Ku letakkan tas selempanganku dan aku duduk di pinggiran tempat tidur. Butuh beberapa menit untuk berpikir bagaimana harus membalas pesan itu. Berulang kali aku mengetikkan kalimat, tapi akhirnya ku hapus kembali.

Aku melihat langit-langit kamarku sejenak, dan akhirnya dengan cepat mengetikkan empat kata untuk membalas pesannya.

To : Rio :)
Maaf, tadi lagi otw :)

Aku merenung kembali setelah mengirimkan pesan balasan untuknya. Belum sembuh luka itu, saat dia berkata padaku kalau dia memiliki rasa untuk Ify. Luka menganga bukan karena sikapnya. Dia tidak salah. Aku tahu kita tidak pernah tahu akan kepada siapa cinta itu kita berikan. Dan jika memang dia menyukai Ify di saat masih bersamaku, apa aku bisa marah?

Aku tidak marah. Aku hanya sedih. Sedih menyadari bahwa aku tidak bisa menjadi yang terbaik baginya. Sedih menyadari aku tidak bisa menjadi satu-satunya orang yang bisa mengerti dan memahami dia. Sedih menyadari bahwa selama ini justru akulah yang sering membuat permasalahan di antara kami. Maka wajar kan jika dia kemudian menemukan seseorang yang bisa menenangkan gundahnya di luar sana?

“Drrttt. . .drrttt. . .”

Lamunanku terhenti saat ponselku bergetar tanda panggilan masuk. Aku hanya melihat layar ponselku sekilas dan meletakannya kembali. Tidak berniat untuk menjawab panggilan darinya. Ku biarkan panggilan itu berakhir dengan sendirinya.

Setelah panggilan itu berakhir, aku mengetikkan sebuah pesan untuknya.

To : Rio :)
Lewat SMS aja ya. Aku belum siap bicara sama kamu. Jadi kamu gimana?

Setelah mengirimkan pesan untuknya aku kembali mengetik sebuah pesan. Kali ini pesan untuk Ify, temanku berbagi gundah yang ternyata juga menjadi temannya berbagi.  

To : Ify
Fy, kamu jadian aja sama Rio

Kububuhkan simbol titik dua tutup kurung pada akhir kalimat itu untuk memberikan kesan bahwa aku baik-baik saja. Meski aku sadar bahwa Ify pasti tahu kalau kondisiku jauh dari kesan ‘baik-baik saja’.

Aku menarik napas dalam. Sesak ini ternyata membuatku cukup sulit bernapas. Seperti ada beban yang menghimpit dadaku hingga rasanya kapasitas paru-paruku menyempit. Aku baru saja menyandarkan tubuhku pada kepala tempat tidur saat dua pesan masuk bersamaan tak lama setelah aku mengirim pesan kepada Rio dan Ify.

From : Rio :)
Gimana apanya? Aku sama kamu kan?

From : Ify
Eh, ini ngomongin apa sih, Vi?

Segera ku ketik balasan untuk keduanya.

To : Rio :)
Yo, apa indahnya berpura-pura mencintai seseorang? Kamu suka sama Ify. Dan sekarang Ify bilang dia suka sama kamu. Semua jelas, kan?

To : Ify
Gue udah tahu semuanya kok. Rio udah cerita sama gue. Gue tahu kalau Rio suka sama lo jauh sebelum lo tahu itu. Maaf yaa :)

Entah ini terkesan aku ikhlas atau justru aku semakin terlihat tidak rela. Aku tidak munafik, hatiku memang sakit. Tapi siapa yang bisa ku salahkan? Ify? Aku rasa dia juga tidak sepenuhnya bersalah, siapa yang bisa melarang perasaan seseorang? Tidak ada, bukan?

From : Ify
Eeeehhh, kok jadi lo sih yang minta maaf? Harusnya gue, Viaaaa. Maaf banget yaaa :)
Lo nggak usah peduliin gue, santai aja, ini kan perasaan udah jaman kapan coba. Lagian lo tahu kan gue sekarang sukanya sama siapa, mehehe >.<

Aku tersenyum kecil, entah untuk apa.

To : Ify
Hehe, iya kok tahu :)
Eh, kayaknya gue mau putus aja deh sama Rio.

Saat aku menekan tombol send, pesan balasan dari Rio masuk.

From : Rio :)
Jelas apanya? Nggak usah aneh-aneh deh, Via. Aku udah milih kamu.

Aku berpikir sejenak tentang balasan yang kukirimkan untuk Ify. Aku mau putus? Entah dorongan dari mana aku tadi mengetikkan pernyataan itu. Ada yang bilang yang pertama kali diucapkan itulah yang berasal dari hati, apakah itu juga berlaku untuk spontanitas? Tapi spontanitas itu ada tanpa berpikir panjang, bagaimana jika ternyata keputusanku salah?

Di tengah lamunanku, pesan balasan Ify kembali masuk.

From : Ify
Putus? Kok putus sih? Lo jangan putus dong sama Riooo. . .

Fy, apa kamu tahu. Sakit rasanya, Fy, sakit. Aku ngerasa nggak berguna, aku ngerasa nggak berarti apa-apa buat dia. Untuk apa aku ada kalau toh ternyata dia lebih membutuhkan orang lain daripada aku?

Hatiku mengerang.

To : Ify
Nggak papa sih. Cuma emang ngerasa udah nggak bisa lanjut aja, hehe

Aku teringat kalau belum membalas pesan Rio. Ku baca sekali lagi pesan darinya, dan setelahnya ku ketikkan sebuah pernyataan yang mewakili apa yang aku rasakan.  

To : Rio :)
Yo, emang sakit ngeliat orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Tapi akan lebih sakit kalau orang yang kita cintai tidak bahagia bersama kita. Maaf banget, aku emang nggak bisa menjadi yang terbaik buat kamu. Nggak bisa menjadi orang yang selalu ngertiin kamu.

Setelah mengirim pesan itu aku memejamkan mata. Dan entah kenapa semua menjadi terasa begitu menyesakkan hingga saat aku membuka mata air mata itu akhirnya keluar juga. Aku tergugu pelan. Sesak. Benar-benar sesak.

Haruskah aku mengakhiri semua ini di saat rasa ini masih ada? Ataukah aku harus bertahan dengan setengah hati? Apalah arti Rio memilih bersamaku jika hatinya berada untuk orang lain.

Aku makin terisak. Ku peluk guling kesayanganku erat untuk menemukan celah-celah kekuatan. Dan entah kekuatan darimana, aku menyambar ponselku dan mengetikkan sebuah pernyataan untuknya. Aku berhenti sejenak untuk membaca ulang pesan itu. Ku tarik napas dan kumantapkan hatiku untuk menekan tombol ‘send’. Aku berharap ini memang jalan yang terbaik.

To : Rio :)
Yo, maaf banget yaaa. Untuk sementara waktu, aku butuh sendiri :)
***

Walau ku masih mencintaimu
Ku harus meninggalkanmu
Ku harus melupakanmu

Meski hatiku menyayangimu
Nurani membutuhkanmu
Ku harus merelakanmu
-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar