Enjoy this story :)
Bukan
Diriku
Setelah kupahami
Ku bukan yang terbaik
Yang ada dihatimu
Tak dapat ku sangsikan
Ternyata dirinyalah
Yang mengerti kamu
Bukanlah diriku
***
From : Rio :)
Via, Ify bilang
kalau dia suka aku
Deg! Napasku tercekat. Ku pandangi sekali lagi deretan
kalimat di layar ponsel yang sukses membuatku tak bernapas beberapa detik. Aku
mengejanya hingga tingga kali untuk meyakinkan bahwa kalimat itu tidak salah
susun. Dan ternyata benar. Rangkaian huruf itu sama sekali tak berubah dari
tempatnya. Masih tetap di sana. Menjadi pagar dan mengunci bibirku hingga tak
mampu meluncurkan satu patah kata pun.
Hatiku nyeri. Aku merasa seketika ada ribuan
duri-duri kecil menghujam tepat di ulu hatiku. Perih.
Aku gamang. Tak percaya kalau sesuatu yang sedari dulu
kutakutkan kini terjadi.
Kacau. Aku tersenyum. Tapi mataku kebas.
“Heh! Kenapa?” Zahra menyenggol bahuku pelan.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali agar kristal
bening yang telah berkumpul di pelupuk mataku itu tidak jatuh. Sebelum
menjawab, aku berdehem sebentar untuk menghilangkan serak di tenggorokanku. “Eh,
nggak papa kok. Gue duluan ya.”
***
Kini maafkanlah aku
Bila ku menjadi bisu
Kepada dirimu
Bukan santunku terbungkam
Hanya hatiku terbatas
Tuk mengerti kamu
Maafkanlah aku
***
7 missed calls.
3 messages received.
Dan ke semuanya berasal dari satu nama. Dia.
From : Rio :)
Kamu jangan
marah dulu yaa
From : Rio :)
Via, angkat
teleponku :)
From : Rio :)
Vi, ini semua nggak
seperti yang kamu bayangin. Jangan mengambil keputusan apapun dalam keadaan
emosi. Kita butuh bicara :)
Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya hanya
dalam sekali hembusan. Ku letakkan tas selempanganku dan aku duduk di pinggiran
tempat tidur. Butuh beberapa menit untuk berpikir bagaimana harus membalas
pesan itu. Berulang kali aku mengetikkan kalimat, tapi akhirnya ku hapus
kembali.
Aku melihat langit-langit kamarku sejenak, dan akhirnya
dengan cepat mengetikkan empat kata untuk membalas pesannya.
To : Rio :)
Maaf, tadi lagi
otw :)
Aku merenung kembali setelah mengirimkan pesan
balasan untuknya. Belum sembuh luka itu, saat dia berkata padaku kalau dia
memiliki rasa untuk Ify. Luka menganga bukan karena sikapnya. Dia tidak salah. Aku
tahu kita tidak pernah tahu akan kepada siapa cinta itu kita berikan. Dan jika
memang dia menyukai Ify di saat masih bersamaku, apa aku bisa marah?
Aku tidak marah. Aku hanya sedih. Sedih menyadari
bahwa aku tidak bisa menjadi yang terbaik baginya. Sedih menyadari aku tidak
bisa menjadi satu-satunya orang yang bisa mengerti dan memahami dia. Sedih
menyadari bahwa selama ini justru akulah yang sering membuat permasalahan di
antara kami. Maka wajar kan jika dia kemudian menemukan seseorang yang bisa
menenangkan gundahnya di luar sana?
“Drrttt. . .drrttt. . .”
Lamunanku terhenti saat ponselku bergetar tanda
panggilan masuk. Aku hanya melihat layar ponselku sekilas dan meletakannya
kembali. Tidak berniat untuk menjawab panggilan darinya. Ku biarkan panggilan
itu berakhir dengan sendirinya.
Setelah panggilan itu berakhir, aku mengetikkan
sebuah pesan untuknya.
To : Rio :)
Lewat SMS aja
ya. Aku belum siap bicara sama kamu. Jadi kamu gimana?
Setelah mengirimkan pesan untuknya aku kembali
mengetik sebuah pesan. Kali ini pesan untuk Ify, temanku berbagi gundah yang
ternyata juga menjadi temannya berbagi.
To : Ify
Fy, kamu jadian
aja sama Rio
Kububuhkan simbol titik dua tutup kurung pada akhir
kalimat itu untuk memberikan kesan bahwa aku baik-baik saja. Meski aku sadar
bahwa Ify pasti tahu kalau kondisiku jauh dari kesan ‘baik-baik saja’.
Aku menarik napas dalam. Sesak ini ternyata membuatku
cukup sulit bernapas. Seperti ada beban yang menghimpit dadaku hingga rasanya
kapasitas paru-paruku menyempit. Aku baru saja menyandarkan tubuhku pada kepala
tempat tidur saat dua pesan masuk bersamaan tak lama setelah aku mengirim pesan
kepada Rio dan Ify.
From : Rio :)
Gimana apanya?
Aku sama kamu kan?
From : Ify
Eh, ini
ngomongin apa sih, Vi?
Segera ku ketik balasan untuk keduanya.
To : Rio :)
Yo, apa
indahnya berpura-pura mencintai seseorang? Kamu suka sama Ify. Dan sekarang Ify
bilang dia suka sama kamu. Semua jelas, kan?
To : Ify
Gue udah tahu
semuanya kok. Rio udah cerita sama gue. Gue tahu kalau Rio suka sama lo jauh
sebelum lo tahu itu. Maaf yaa :)
Entah ini terkesan aku ikhlas atau justru aku semakin
terlihat tidak rela. Aku tidak munafik, hatiku memang sakit. Tapi siapa yang
bisa ku salahkan? Ify? Aku rasa dia juga tidak sepenuhnya bersalah, siapa yang
bisa melarang perasaan seseorang? Tidak ada, bukan?
From : Ify
Eeeehhh, kok
jadi lo sih yang minta maaf? Harusnya gue, Viaaaa. Maaf banget yaaa :)
Lo nggak usah
peduliin gue, santai aja, ini kan perasaan udah jaman kapan coba. Lagian lo
tahu kan gue sekarang sukanya sama siapa, mehehe >.<
Aku tersenyum kecil, entah untuk apa.
To : Ify
Hehe, iya kok
tahu :)
Eh, kayaknya
gue mau putus aja deh sama Rio.
Saat aku menekan tombol send, pesan balasan dari Rio
masuk.
From : Rio :)
Jelas apanya?
Nggak usah aneh-aneh deh, Via. Aku udah milih kamu.
Aku berpikir sejenak tentang balasan yang kukirimkan
untuk Ify. Aku mau putus? Entah dorongan dari mana aku tadi mengetikkan pernyataan
itu. Ada yang bilang yang pertama kali diucapkan itulah yang berasal dari hati,
apakah itu juga berlaku untuk spontanitas? Tapi spontanitas itu ada tanpa
berpikir panjang, bagaimana jika ternyata keputusanku salah?
Di tengah lamunanku, pesan balasan Ify kembali masuk.
From : Ify
Putus? Kok
putus sih? Lo jangan putus dong sama Riooo. . .
Fy, apa kamu tahu. Sakit rasanya, Fy, sakit. Aku
ngerasa nggak berguna, aku ngerasa nggak berarti apa-apa buat dia. Untuk apa
aku ada kalau toh ternyata dia lebih membutuhkan orang lain daripada aku?
Hatiku mengerang.
To : Ify
Nggak papa sih.
Cuma emang ngerasa udah nggak bisa lanjut aja, hehe
Aku teringat kalau belum membalas pesan Rio. Ku baca
sekali lagi pesan darinya, dan setelahnya ku ketikkan sebuah pernyataan yang
mewakili apa yang aku rasakan.
To : Rio :)
Yo, emang sakit
ngeliat orang yang kita cintai justru mencintai orang lain. Tapi akan lebih
sakit kalau orang yang kita cintai tidak bahagia bersama kita. Maaf banget, aku
emang nggak bisa menjadi yang terbaik buat kamu. Nggak bisa menjadi orang yang
selalu ngertiin kamu.
Setelah mengirim pesan itu aku memejamkan mata. Dan
entah kenapa semua menjadi terasa begitu menyesakkan hingga saat aku membuka
mata air mata itu akhirnya keluar juga. Aku tergugu pelan. Sesak. Benar-benar
sesak.
Haruskah aku mengakhiri semua ini di saat rasa ini
masih ada? Ataukah aku harus bertahan dengan setengah hati? Apalah arti Rio
memilih bersamaku jika hatinya berada untuk orang lain.
Aku makin terisak. Ku peluk guling kesayanganku erat
untuk menemukan celah-celah kekuatan. Dan entah kekuatan darimana, aku
menyambar ponselku dan mengetikkan sebuah pernyataan untuknya. Aku berhenti
sejenak untuk membaca ulang pesan itu. Ku tarik napas dan kumantapkan hatiku
untuk menekan tombol ‘send’. Aku berharap ini memang jalan yang terbaik.
To : Rio :)
Yo, maaf banget
yaaa. Untuk sementara waktu, aku butuh sendiri :)
***
Walau ku masih mencintaimu
Ku harus meninggalkanmu
Ku harus melupakanmu
Meski hatiku menyayangimu
Nurani membutuhkanmu
Ku harus merelakanmu
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar