Rabu, 20 November 2013

Let Me Tell You (Review Novel ‘Morning Light’)


Pertandingan perempat final sepak bola antara SMA 135 dan SMA 315 sudah dimulai. Aku duduk di belakang gawang SMA 315 bersama temanku.
“Siapa namanya?” tanya Nadia, temanku, sambil menunjuk seorang cowok yang sedang menggiring bola di tengah lapangan.
“Devon,” jawabku singkat.
“Kenapa permainannya payah begitu?” komentarnya. Devon bermain tidak fokus, berkali-kali dia membuat kesalahan.
“Mungkin, dia sedang menunggu seseorang.”
“Siapa?”
Belum sempat aku menjawab, cewek manis yang duduk di sebelah kami berujar dengan nada kesal. “Kemana saja kalian? Pertandingan sudah berjalan selama 15 menit!”
Sorry… sorry… ini gara-gara aku,” kata cewek berkacamata yang baru saja datang dengan nada penuh penyesalan.
“Sebenarnya, kami sudah selesai makan dari tadi tapi dia nggak mau ke sini sebelum mendapatkan ini!” kata satu-satunya cowok di antara mereka bertiga sambil mengacungkan tas plastik.
Nadia yang sedang memperhatikan mereka bertiga kemudian menoleh ke arahku. “Kalau mereka siapa? Apa mereka yang ditunggu Devon?” tanyanya.
“Cewek mungil itu Agnes, yang pakai kacamata namanya Sophia, kalau yang cowok itu namanya Julian,” sebutku. “Mereka bertiga sahabatnya Devon. Sophie adalah sahabat sejak kecil, bahkan rumahnya bersebelahan. Sedangkan Agnes dan Julian baru berteman sejak masuk SMA. Mereka berempat tinggal satu komplek.”
Nadia hanya mengangguk sambil membulatkan bibirnya tanda ‘oh!’
“Agnes itu jago masak, manis, suka senyum. Kalau Sophie itu sadis, cuek sama penampilan, peduli dengan teman, suka nulis. Eh, emm, mungkin sih. Tapi dia jago fotografi sebenarnya. Devon, seperti yang kamu lihat. Dia jago sepak bola, anaknya usil. Yang aku suka si Julian. Dia paling baik menurutku, pintar, dewasa pula,” jelasku panjang lebar.
Kami berdua kemudian menengok ke samping ketika tiba-tiba cewek bernama Sophie beranjak dari duduknya. Mata kami mengikuti ke arah dia berjalan.
“HOI BODOH! APA YANG KAMU LAKUKAN? JANGAN MEMBUAT MALU!!!!” teriak Sophie dari tepi podium.
Nadia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Sophie yang sedang berdiri berkacak pinggang. “Kenapa dia melakukan itu?”
“Dia harus mengingatkan Devon, karena kalau permainan Devon masih seperti itu, Devon bisa dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.”
“Ayahnya?”
“Ya. Devon adalah putra Ruslan Jayadi, mantan pemain sepak bola, andalan PSIS dulu. Kamu tahulah, sebagai anak laki-laki satu-satunya, ayahnya menaruh harapan besar padanya untuk meneruskan mimpi.”
“Hidup dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain,” gumam Nadia.
“Benar. Tidak hanya Devon sebenarnya. Mereka bertiga juga,” kataku sambil menggerakkan dagu ke arah Agnes, Sophie, dan Julian. “Mereka itu bunga matahari yang berusaha mengejar matahari. Padahal, bunga matahari sendiri sudah cantik. Yah, seperti katamu, karena hidup dalam bayang-bayang keberhasilan orang lain, mereka berusaha mengejar bayang-bayang itu hingga mengabaikan kalau sebenarnya mereka memiliki potensi masing-masing.”
Nadia mengangguk-angguk lagi, kemudian kembali menonton pertandingan.
“Kereeeeen!” pekiknya melihat permainan Devon yang sudah berubah 180 derajat. Nadia langsung melirik ke arah salah satu dari mereka bertiga—Agnes, Sophie, dan Julian—kemudian menoleh ke arahku dengan muka jahil. “Pasti ada kisah friendzone di antara mereka?”
Aku tersenyum geli. “Begitulah.”
CUT!” suara sang sutradara terdengar lantang. “Oke, kita break dulu sebelum masuk ke scene berikutnya,” perintahnya.
“Keluar yuk beli minum, haus!” ajak Nadia. Meski hanya sebagai pemain figuran, kami berdua cukup lelah mengikuti jadwal syuting seharian ini.
“Eh ngomong-ngomong, kamu kok udah tahu detail karakter mereka dan jalan cerita film Morning Light? Padahal, kan, baru syuting?” tanya Nadia.
“Film ini kan diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Dan aku sudah pernah membacanya.”
“Benarkah? Boleh pinjam?”
“Oke. Nanti mampir ke rumahku, ya!” Dan kami pun keluar stadion untuk mencari Pocari Sweat.
***
           “Wih, sampulnya keren. Menarik!” komentar Nadia begitu ia melihat novel dengan warna sampul dominan kuning itu. “Oh, jadi ini karya Mbak Windhy Puspitadewi? Pengarang Let Go itu, kan?”
            “Iya. Pernah baca?”
            “Pernah, keren! Gagas Media juga ini?”
“Yap!”
“Pantes sampulnya keren, bukunya Gagas kan sampulnya juara.” kemudian Nadia membalikkan novel itu, diam sejenak--mungkin dia sedang membaca sinopsis di sampul belakang.

Aku seperti bunga matahari yang selalu mengejar sinar matahari, hanya melihat pada dia : matahariku. Aku mengagumi kedalaman pikirannya, caranya memandang hidup—malah, aku mati-matian ingin seperti dirinya.
Aku begitu terpesona hingga tanpa sadar hanya mengejar bayang-bayang. Aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendongak sampai lupa kemampuan diriku sendiri. Aku bahkan mengabaikan suara lirih di dasar hatiku. Aku buta dan tuli. Dan di suatu titik akhirnya tersungkur. Saat itulah aku mulai bertanya-tanya: Apakah dengan menjadi seperti dia, aku pun akan dicintai?

“Kayak kisah cinta, ya?” ujarnya setelah—mungkin—selesai membaca sinopsisnya.
“Awalnya aku juga berpikir begitu, tapi ternyata enggak. Ini cerita persahabatan, ya meskipun ada kisah cintanya juga sebagai bumbu. Kalau kamu baca ceritanya, sinopsisnya tetep nyambung kok sama isinya.”
Dia kemudian mulai membuka-buka halaman depan novel itu. “Tahun 2010. Berarti duluan Let Go,” gumamnya. “Gaya bahasanya tetep baku kayak di Let Go?”
“Iya, khas Mbak Windhy pokoknya. Baku, aku-kamu, tapi nggak ngebosenin. Itu yang aku suka dari gaya tulisannya Mbak Windhy. Eh, ada juga. Humornya. Humornya Mbak Windhy itu berkelas, enggak murahan, meskipun pakai bahasa baku, aku tetep bisa terkikik kalau baca.”
Nadia mengangguk-angguk sambil tetap membolak-balikkan halaman demi halaman novel. “Eh, tapi novel ini tipis juga ya, 175 halaman.”
“Yap, aku nggak sampai sehari udah selesai baca. Tipis memang, tapi apa yang kamu bakalan dapet dari novel ini banyak banget. Serius! Meskipun sebenernya jalan ceritanya ketebak, tapi aku menikmati setiap bagian menuju akhir cerita ini.”
Recommended nggak?”
Recommended dong! Bagiku, novel itu bagus kalau bisa membuatku tidak berhenti membaca sebelum halaman terakhir, dan bisa menginspirasiku. Bahkan menginspirasi untuk ikut menulis. Dan Morning Light memenuhi keduanya. Empat dari lima bintang lah.”
“Oke, aku pinjam, ya?” kata Nadia akhirnya.
Aku mengangguk mengiyakan. Semakin banyak yang baca, semakin banyak yang akan terinspirasi juga, kan?  

Selasa, 19 November 2013

My Pensieve



Dumbledore: "I use the Pensieve. One simply siphons the excess thoughts from one's mind, pours them into the basin, and examines them at one's leisure. It becomes easier to spot patterns and links, you understand, when they are in this form."
Harry: "You mean... that stuff's your thoughts?"
Dumbledore: "Certainly."



Ada yang tau apa itu Pensieve? Pensieve is seems like an object used to review memories. Yang suka Harry Potter pasti tau.

Well, kalau Dombledore punya Pensieve, saya punya buku harian yang bisa saya gunakan untuk ‘merekam’ jejak kejadian kehidupan saya #tsaaah.

Mungkin bagi sebagian orang, nulis diary itu cemen or apalah gitu, tapi bagi saya menuliskan kejadian-kejadian yang kita alami itu sangat bermanfaat.



Pertama, nulis itu ‘obat’ bagi saya.
Ketika saya sedang penat, pikiran sudah amburadul entah mikir apaan, kacau, saat saya gatau harus menceritakan semuanya sama siapa, saat itulah saya butuh nulis. Nulis itu ngurangin beban, bagi saya. Setelah menuliskan semua unek-unek, menuangkan semua isi pikiran yang tak tersalurkan, saya merasa lega. Jadi apa yang ada dipikiran saya, saya pindahkan ke dalam tulisan, sehingga beban yang dipikiran itu berkurang.

Kedua, diary itu media penyimpan kenangan.
Saya ini tipe orang yang suka menyimpan kenangan—mungkin that’s why saya ini orangnya cenderung susah move on. Dan buku diary adalah salah satu media penyimpan kenangan. Coba aja kita baca ulang diary jaman SMP ata SMA, pasti banyak banget memori yang terputar ulang.

Ketiga, diary itu sarana review dan instropeksi.
Pernah nggak baca tulisan beberapa tahun lalu dan ngerasa kita childish banget? Nah, kata Bang Tere—kalau nggak salah sih, saya pernah baca tulisannya—ketika kamu ngetawain tulisan kamu jaman dulu, itu artinya sudah ada perubahan dalam diri kamu. Itu pertanda bagus, karena bisa jadi kamu sudah semakin dewasa. Justru ketika kamu tidak memiliki respon apa pun, bisa jadi kamu masih sama dengan beberapa tahun lalu dan belum berubah.

Nah, kalau saya sih, dengan baca tulisan-tulisan jaman dulu kita bisa memandang suatu masalah dari sudut pandang lain, bisa instropeksi, dan nemuin pemikiran lain. Meski kenyataannya lebih sering ilfeel kalau habis baca tulisan, soalnya ngerasa : ya ampun aku alay bangeeet! T-T


Saya sendiri sudah mengalami transformasi diary (setdah bahasa gue). Mulai dari diary jaman SD yang isinya “hari ini aku sebel banget soalnya temenku minjem penghapus dan penghapusnya ilang” sampai diary sekarang yang lebih banyak berisi quotes dan pemikiran-pemikiran tentang suatu topik masalah. Termasuk blog ini, ini juga diary saya loh, haha. 

Minggu, 17 November 2013

Link "Dialah Aku"

Bima, errrrr! Dia nggak pernah tahu bagaimana Sinta selalu berusaha menetralisir perasaannya. Bagaimana Sinta selalu berusaha mengubur jauh-jauh perasaannya dan berusaha meyakinkan bahwa mereka berdua hanya sahabatan. Sedangkan Bima sendiri justru sering memberikan perlakuan-perlakuan gentle yang sebenernya selalu sukses bikin dia melting. Dan di sisi lain, Sinta paham betul, bahwa hati Bima tidak untuknya.

Kamis, 16 Mei 2013

Cooking Challenge


“Masakan istri/ibu itu selalu bisa bikin kangen. Kamu nggak mau, besok di kangenin sama anak-anakmu?”


Kurang lebih begitu kata seorang teman cowok kepada saya. Yes, ngejleb juga! Kebayang, kan, gimana sedihnya ketika besok temen-temen anak saya update status “Kangen sama masakan ibu” sedangkan anak saya bilang, “Ibuku aja nggak bisa masak, gimana mau kangen.”

Dzzzzt! -_____-

Saya mengakui, bisa masak itu penting banget. Bahkan teman saya yang lain—yang juga cowok—pernah menyebutkan tiga kelebihan orang yang dia sukai, salah satunya adalah bisa masak. Dan ketika saya bilang, “Itu dia yang aku nggak bisa,” dia dengan tegasnya mengatakan, “Nah, itu fatal banget, Nif.”

Fine! Menohok!

Meskipun bisa masak itu bukan satu-satunya parameter istri idaman, bagi saya, masak tetap menjadi indikator penting seorang istri idaman. Gimana mau jadi istri idaman kalau masak aja nggak bisa? :/
Setuju?

Tuh, kan iya? Saya memang menyadari kalau bisa masak itu penting. Tapi entah kenapa saya tetap belum punya greget buat belajar masak T-T

Ibu saya pernah bilang, “Cah perawan gedhene semono gek raiso masak. Sesuk nek neng ngomahe maratua, didhepi janganan, kon masak terus arep piye?” (Baca : Anak perawan seusia kamu terus nggak bisa masak itu mau gimana. Besok kalau di rumah mertua, dikasih sayuran, disuruh masak, terus mau gimana coba?”

Saya dengan pedenya—sambil bercanda—menjawab, “Yo telpon ibuklah, terus takon bumbune opo, masake piye.” (Baca : Ya telepon ibuklah, terus nanya bumbunya apa, cara masaknya gimana.”)
Tentu saja waktu itu saya menjawabnya nggak serius, cuma bercanda. Karena kalau benar-benar dihadapkan dengan situasi seperti itu, saya pasti bingung. Mau gimana? Nyengir sama mertua?

Tapi, sekali lagi, itu saja tidak cukup mendorong saya untuk belajar masak.

Sebenernya banyak yang nyuruh saya, ngasih motivasi ke saya biar saya mau belajar masak. Dan saya juga membenarkan apa yang mereka katakan bahwa intinya masak itu penting. Tapi tetep aja, sebanyak apapun motivasi yang saya terima, kalau sayanya sendiri bebal dan memang belum punya niatan besar untuk belajar, bakalan sama aja. Saya juga nggak tahu, kenapa saya nggak punya greget buat belajar masak. Kalau temen-temen saya tertarik buat coba-coba resep masakan baru, saya lebih tertarik mikirin habis ini mau nulis apa :p

FYI, saya pernah sih belajar masak. Awal-awal saya ‘liburan’ saya sempet belajar masak, dikit-dikit. Tapi habis itu macet, dan nggak saya terusin.

Waktu itu saya pernah masak sayur bening sendiri. Singkat cerita kuahnya udah siap, tinggal masukin sayurannya. Tapi sebelum saya masukin sayurannya, saya minta adek saya buat nyobain. Then, kalian tahu apa yang dilakukan adek saya pasca dia nyicipin satu sendok kuah sayur bening hasil bikinan saya? Dimuntahin. Ohhhhh, Lord! Dia bilang, “Hiyuh, Mbak, lha iki aneh tenan rasane. Wis guwangen wae!” (Baca : Hiyuh, Mbak, sumpah ini aneh banget rasanya. Udahlah, buang aja!)

Saya pun nurut sama adek. Sayurnya saya buang—eh kuah sayurnya ding, karena untung sayurannya belum jadi saya masukin. Dan saya nggak jadi masak.

Iyasih, kalau urusan masak, adek saya emang lebih jago daripada saya. Makanya saya lebih sering nanya ke dia, dan pasti nurut aja ketika dia bilang, “Buang aja! Aneh!” -___-

That’s why, saya nggak mau kalau masakan saya dimakan sama orang lain. Antara nggak pede dan nggak tega. Kalau mereka mules habis makan masakan saya gimana?

Tapi kalau nggak dimakan, sayang juga kalau dibuang. Jadi kesimpulannya, daripada saya masak dan cuma mubazir, mending nggak usah masak. Okesip. Wkwkwkw.
#nyarialesan

Tapi, pernah juga saya sih berhasil bikin makanan. Waktu itu saya bikin bakwan jagung. Saya goreng, saya angkat, tiriskan, kasih ke piring, diambil sama adik saya, habis. Goreng lagi, angkat, tiriskan, kasih ke piring, diambil sama adek. Goreng lagi, angkat lagi, tiriskan lagi, kasih ke piring lagi, diambil adek lagi. Sampai habis. Entah masakan saya yang memang (kebetulan) enak, atau mungkin adek-adek saya yang emang lagi kelaperan saya nggak tahu. Yang jelas, waktu itu saya sendiri nggak sempat makan bakwan jagung bikinan saya.

Tapi kemudian saya sadar, bahagia itu ternyata memang sederhana, saat kita masak, dan lihat orang lain makan masakan kita dengan lahapnya sampai habis :)

Duuuhh, tapi ya namanya juga Hanif, habis kejadian itu bukannya tambah semangat buat masak, tapi tetep biasa aja. Tetep nggak ada greget buat belajar masak. Ya ampuun, plis deh, Nif! :/

Saya tahu semua tergantung saya sendiri. Semua niat berawal dari saya sendiri. Saya mau masak atau nggak bisa masak, yang nentuin juga saya sendiri. Yaaa, lihat gimana entarlah, yang jelas sekarang saya masih belum greget #teteeeeeep


Abi, maaf ya. Sampai sekarang aku masih belum bisa masak.
(Hanif, 20 tahun, belum bisa masak)
  
LOL :D

Selasa, 14 Mei 2013

Surau Tak Berpenghuni

Pak Solikhin said, "Masjid Jami' Nuraini itu masjid paling luas di Desa Playen."

Me (spelling by heart) : "Tapi sekaligus menjadi masjid paling sepi se-Desa Playen."

Hakdes! Miris banget :/

Jujur, saya udah lama banget nggak ke masjid. Bukannya nggak sempat, tapi karena memang tidak menyempatkan. Beberapa waktu ini, rasa-rasanya saya udah nggak inget lagi sama masjid. Udah sama sekali nggak kepikiran gitu sama keadaan masjid. Whateva! Masa bodoh! Tapi barusan, baru aja pas ikut pengajian tadi, saya kembali diingatkan dengan keinginan di masa lalu yang sekarang sudah nggak tahu dimana.

Terus apa korelasi antara inget masjid dengan kadar kerajinan saya dalam menulis? Means, saya mendadak niat banget nulis. Jam segini. Jamnya orang ronda pun udah pulang.

Entah kenapa tadi waktu di masjid, tiba-tiba langsung muncul judul "Surau Tak Berpenghuni" di kepala saya. And now, I wanna share what have I thought.

Why? Kenapa saya langsung kepikiran surau tak berpenghuni? Saya menyoroti dari dua hal. Pertama, nggak ada orang. Nggak ada orang dalam artian nggak ada remajanya. Yes! Remaja masjidnya udah nggak tahu apa kabarnya. Saya pun udah nggak inget siapa ketua terakhir yang menjabat. Yang jelas, tadi yang datang ke pengajian, sebagian besar bapak-bapak ibu-ibu para pinisepuh. Remajanya? Duuuh, nggak udah ditanya lah, bisa diitung pakai jari. Padahal kan akan lebih kece kalau yang ngurusin pengajian itu adalah remaja. Tapi tapi tapi, kenyataannya mulai dari rapat persiapan, urusan kerja bakti, among tamu, urusan snack, urusan dekorasi tempat, sampai urusan bersih-bersih pasca pengajian semua dihandle orang tua. Entah karena saya memang nggak tahu karena nggak berangkat, atau memang karena remaja masjidnya beneran nggak ada.

Oke, dari sekian banyak jamaah yang dateng tadi, remaja paling cuma sepersepuluh. Bahkan, saya kesulitan nyari temen. Nggak ada remaja cewek yang seusiaan sama saya. Yang ada tadi cuma Tata (1 SMA), Eli (1 SMA), Diva (1 SMA) yang bertugas jagain snack. Mas Wahyu (25 th) dan Mas Angger (23 tahun) yang bantuin di belakang. Rudi (2 STM), Yadi dan Yanto (3 SMP) yang jadi tukang jaga kabel sama sound sistem. Mbak Risma (2x tahun) yang tadi dateng telat--saya nggak sempet ketemu--dan langsung ikutan Mas Wahyu sama Mas Angger. Dan pas selesai pengajian, saya udah nggak nemuin mereka lagi. Pliisss coy, gue kan jadi keliatan sok rajin gitu? Pfft.

Terus apa kabar sama cowok-cowok yang rame banget di tongkrongan pos ronda tiap malem itu? Emang ya, kalau disuruh pokeran, tanpa snack dan tanpa undangan pun yang minat banyak, tapi giliran disuruh dateng pengajian? Mau dikasih snack gratis dan dihalo-haloin sampai speaker jebol juga yang dateng nggak sebanyak kalau ada hiburan dangdutan.

Kedua, nggak ada kegiatan. Remaja masjid sudah pasti dicoret. Udah pingsan. Nggak jalan. Nggak ada kegiatan. Eh, sekarang ikut-ikutan TPA juga berhenti. Syedih sekali T-T
saya terakhir ikut TPA adik-adik waktu ramadhan tahun kemarin. Setelahnya saya nggak tahu TPA masih jalan atau nggak--karena saya kuliah--tapi yang jelas, sekarang TPA udah nggak ada. So? Masjid kosong. Paling pol kegiatan cuma solat jamaah--yang shafnya sebaris aja nggak penuh. Jangan harap ada suara tadarusan dari masjid. Nggak. Dari dulu emang jarang banget!

Mendadak kangeeeeen banget sama panggilan dari speaker masjid : "Kepada santriwan-santriwati TPA Masjid Jami' Nuraini untuk segera datang ke masjid, karena sudah ditunggu teman-temannya."
Dulu seminggu dua kali denger panggilan itu. Sekarang sepi.

Duuuhh, kapan coba bisa punya masjid idaman? Yang ada remaja masjid yang aktif, banyak kegiatan, TPA jalan, pengajian orang tua juga jalan. Kan syahdu sekali membayangkan seperti itu.

Yap, bener! Membayangkan. Karena jujur, kalau saya disuruh bergerak sekarang udah terlanjur males.  



Related post : Aku, Mereka, dan Masjid Kami

Jumat, 10 Mei 2013

Move On

Yoih banget tuh quote! Move on itu memang susah dideskripsikan. Apa sih? Move on? Nggak galau? Step forward? Ya gitu deh. Bikin mikir.

Saya punya teori abal-abal, yang saya dapatkan dari hasil bertapa tapi tentu saja belum teruji kebenarannya. Oke! Menurut saya, move on itu adalah kondisi dimana kita udah nggak emosional lagi menceritakan kejadian yang di masa lalu membuat emosional. *garuk kepala* Ngerti maksudnya? Gitu deh pokoknya. Intinya "udah biasa aja" gitu.

Contohnya? Gini, misalnya saya adalah Pipik Dian Irawati istrinya Uje.

Misalnya woy misalnyaaaaa, udah nggak usah melotot melotot gitu kali. Saya juga nyadar beda di antara kami itu jauuuuhhhhh banget :/

Back! Misalnya saya adalah Umi Pipik, pas ditinggal Uje meninggal, saya nangis-nangis. Sampai pingsan. Nggak terima sama keadaan. Hari selanjutnya, kalau saya ditanya kejadian meninggalnya Uje, saya cerita masih sambil sesekali nangis. Tapi hari berikutnya lagi, berikutnya lagi, berikutnya lagi, saya sudah biasa aja ketika diminta menceritakan kronologi kejadiannya. Menceritakannya sudah bisa sambil senyum, udah nggak nangis-nangis lagi, udah IKHLAS. Nah, tepat disitulah menurut saya, Umi Pipik--eh saya maksudnya, kan tadi saya berperan sebagai Umi Pipik, eeaa--udah move on.






Ada lagi nih. Misalnya saya barusan putus sama pacar. Ini juga misalnya doang pliisssss, saya kan belum pernah paca. . .ah sudahlah lupakan! Nah, pasca putusnya saya dengan mas pacar, datanglah teman-teman saya. Biasalah yaaa, kalau udah sama temen pasti ditanyain, "Eh, kok bisa putus? Gimana ceritanya?" Ketika saya menjawab, "Aaaaa, udah nggak usah dibahas lagi!" itu justru menandakan bahwa saya belum move on? Why? Karena saya masih galau kalau menceritakan or mengingat-ingat masalah itu, makanya saya nggak mau cerita. Tapi ketika saya sudah bisa menceritakan masalah itu dengan biasa aja, udah tanpa galau lagi, tanpa ngotot-ngotot lagi nyalahin si the ex, tanpa menye-menye dengan mata sembab, disitulah saya sudah move on.

Terus, ada nggak sih move on tapi masih galau? Nggak ada yang namanya move on kok masih galau, itu kata temen saya. Dan saya menambahi, galau di sini adalah galau yang dialami hampir setiap hari pasca kejadian itu, misal tadi kejadian putus. Beda lagi dengan galau yang dialami sesekali. Misalnya nih, tiga tahun pasca putus. Udah move on, tapi tiba-tiba galau karena keinget salah satu kejadian so sweet sama the ex gara-gara nemu barang kenangan atau foto. Itu bukan berarti belum move on.

Hanya karena kita kangen atau galau, itu bukan berarti kita membutuhkan dia kembali ke kehidupan kita. Karena kangen dan galau itu memang bagian dari proses move on.

Gilaaaaaak! Barusan saya ngomong apaan? Kesambet nih pasti kesambet :/
Saya nggak maksa kamu yang baca mengiyakan tulisan ini, because saya sadar banget ini cuma teori hoax dari seorang perempuan labil yang suka sotoy. Hahahaha :p 


Kamis, 09 Mei 2013

Upik Abu Ngayal


I’m just an ordinary girl. Yep, gadis yang sangat biasa yang selalu bermimpi kisah cintanya akan seindah di film-film dan novel-novel. 



Saya juga tidak tahu sejak kapan saya jadi seorang FTV minded, yang kerjaannya ngayal kejadian so sweet so sweet kayak di FTV. Semacam lari-larian, tabrakan sama cowok, buku jatuh, pas ngambil tangannya saling bersentuhan, tatap-tatapan, besoknya jadian. Atau jadi cewek biasa aja yang ditaksir sama cowok paling good looking di sekolahan, dan bikin banyak cewek ngiri. Pokoknya kejadian yang sok unyu dan absurd banget gitu lah.

Tapi entah karena saya tidak sadar atau memang tidak mau menyadari, bahwa impian itu sangat amat muluk bagi gadis semacam saya. Sudah saya katakan, kan? Saya ini gadis yang sangat biasa. Yang nol besar dalam urusan cinta-cinta. Tapi dengan sotonya saya selalu nulis cerita-cerita tentang cinta, pffftt.

Saya ini adalah gadis yang masuk dalam jajaran gadis-gadis yang tidak mungkin dilirik sama kakak kelas saat MOS. Seorang gadis yang kayaknya nggak ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama sama saya. Gadis yang tidak pernah diomongin sama cowok-cowok dari kelas sebelah karena kecantikannya. Bukan pula gadis yang jadi rebutan dan ditaksir sama banyak cowok dalam waktu bersamaan. Apalagi gadis yang habis putus sama pacar dan yang ngantri udah bejibun. Bukan! Sama sekali bukan. Ada cowok dari kelas sebelah yang kenal sama saya aja udah berita bagus. Mengingat saya orangnya yang nggak supel dalam bergaul. Selalu kebingungan harus bagaimana memulai pembicaraan dengan makhluk yang disebut cowok. Yang selalu berpikir keras harus bersikap bagaimana jika berada di depan cowok.

Okelah, lupakan saja! Ini tulisan random yang nggak penting.

Kalau gitu, saya mau terima kasih kepada segelintir orang yang (mungkin) pernah menaruh rasa sama saya. Terima kasih banget, bangettt, sudah pernah melihat sisi lain dari saya. Saya nggak tahu kamu melihatnya darimana kok bisa suka sama saya. Atau mungkin khilaf? Duuuhh -____-
Maaaaaaafff banget kalau mungkin banyak sikap dan sfiat saya yang terkesan sombong. Saya juga kesulitan bagaimana mengontrol kadar kecuekan saya kalau lagi dideketin cowok T-T

Huahuaaaa, ini postingan jadi nggak jelas gitu ya? Yaaaah, begitulah. I realize that I’m not a princess, so it will be a fantasy to expecting a prince. Upik abu sepertinya harus mulai sadar diri, tidak perlu mengharapkan seorang pangeran, cukup seorang pemuda sederhana yang akan menyodorkan segelas air putih saat si upik abu haus kelelahan.

Rabu, 08 Mei 2013

Bahagia Itu Sederhana






Bahagia itu sederhana :

  1. Saat bisa menyelesaikan tugas padahal deadline masih lama
  2. Saat bisa mengeksekusi ide cerita dengan baik
  3. Menikmati senja di Sabtu sore
  4. Melihat kelinci piaraan makan dengan lahapnya
  5. Cucian kering
  6. Menginap di kosan bareng temen-temen, menceritakan banyak hal, dan tidur larut malam
  7. Saat masak dan masakan habis dimakan bareng-bareng dengan lahapnya
  8. Saat merindukan seseorang, baru niat mau SMS, eh dia udah SMS duluan
  9. Mencoret to do list di buku agenda
  10. Berkumpul bersama keluarga di malam hari, bercanda, menceritakan banyak hal
  11. Melihat bapak meluk ibu
  12. Janji bertemu dan kongkow bareng temen-temen yang udah lama nggak ketemu
  13. Mengalami kejadian sosweet kayak di FTV
  14. Saat rencana berjalan dengan baik
  15. Saat menerima "Mixed Taste"
  16. Saat bisa berbuat baik kepada orang lain
  17. Ngeteh pagi bersama keluarga
  18. Keluar ruangan di hari terakhir ujian
  19. Melihat orang lain sebel sama Dirga sehabis baca cerpen "WIN"
  20. Duduk di teras rumah, halaman bersih, kerjaan beres, rileks
  21. Nemu duit nyelip di saku di saat-saat bokek akhir bulan
  22. Buka album foto jaman dulu, dan ngakak sambil komen-komen nggak jelas
  23. Secangkir kopi di malam hari, laptopan, nulis, sambil dengerin musik lewat headset
  24. Jalan-jalan di sawah di sore hari dengan cuaca cerah
  25. Koneksi internet nggak lemot
  26. Es teh segar di siang hari yang panas
  27. Kumpul bareng temen SMA, menceritakan kenangan WPBP, KBTB, JSE, ESL
  28. Duduk di luar pas malam cerah dan banyak bintang
  29. Dapet kiriman pulsa nyasar

Minggu, 05 Mei 2013

Romantic Pipik-Uje

Setiap manusia punya rasa cinta,
yang mesti dijaga kesuciaanya
namun ada kala insan tak berdaya,
saat dusta mampir bertahta

Kuinginkan dia,
yang punya setia.
Yang mampu menjaga kemurniaanya.
Saat ku tak ada,
ku jauh darinya,
amanah pun jadi penjaganya

Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

Tiada yang memahami,
sgala kekuranganku
kecuali kamu, bidadariku

Maafkanlah aku
dengan kebodohanku
yang tak bisa membimbing dirimu

Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

(Bidadari Surga-Uje)





How romantic they are! Subhanallah :)
Saya sempat berkaca-kaca waktu pertama kali denger dan baca lirik lagu Bidadari Surga yang Uje ciptakan khusus buat Mbak Pipik. Hiks banget liriknya T-T

Pertama karena terharu. Yaiyalah, istri mana yang nggak merasa tersanjung season ketujuh kalau dibikinin lagu semacam ituuu. Uje so sweet banget sih ya! Dia merendahkan diri di depan istrinya sehingga istrinya terlihat begitu istimewa. Oh syahdu sekali :")

Kedua karena kemudian merasa bahwa saya masih sangat jaauuhhh dengan predikat bidadari surga itu. Ibarat kata, saya ini masih perempuan abal-abal :/

Kesimpulan dari postingan ini? Bagi cewek, kalau pengen dapet suami kayak Uje ya harus kayak Mbak Pipik dulu. Bagi cowok, kalau pengen dapet istri kayak Mbak Pipik ya harus belajar biar jadi kayak Uje dulu. Intinya, Allah tidak akan mengingkari janjinya bahwa laki-laki baik akan mendapat wanita baik, laki-laki pezina akan dapat wanita pezina juga :)

Rabu, 01 Mei 2013

Mei

Welcome, Mei, be my month plisssss!

Semoga :
  1. Bulan ini ada kabar baik yang menggembirakan, aamiin aamiin :)
  2. Aku bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Inget, Nif, jangan pernah menunda buat ngejalanin program itu! Pliiissssss.
  3. Hati itu sebenernya yang bisa mengontrol ya cuma kamu sendiri, Nif. So? Jangan membiarkan ia galau lagi, ya? Galau produktif sih oke oke aja, tapi kalau sampai bikin kamu nyesek dan menye-menye duuuhhh jangan lah ya. It's lil' bit annoying, oke? Jangan lupa untuk selalu bahagia.
Mei, bersahabatlah denganku :)

Selasa, 09 April 2013

What Have I Learned From Mixed Taste?


Sampai detik ini, saya masih excited aja gara-gara kemarin habis nerima Mixed Taste. Diliatin terus,  dibaca berulang-ulang. Kalau ngelewatin meja tempat naruh Mixed Taste, nyempatin buat ngelirik, dan senyum sendiri. Hahaha. Iya, saya sadar kalau norak. Norak banget. Padahal ini cuma biasa aja, belum apa-apa. Padahal ini cuma sekedar membukukan cerpen—daripada berceceran dimana-mana. Padahal banyak juga temen-temen saya yang bisa melakukan hal yang sama. Tapi mau gimana lagi, emang serius saya seneng banget :p



Dari selesainya Mixed Taste ini, saya belajar banyak hal. Pertama, untuk meraih mimpi dibutuhkan kesabaran dalam berjuang.
Pas bikin Mixed Taste, saya baru bener-bener ngerasain itu. Iya, untuk mendapatkan apa yang kita inginkan kita harus berusaha. Untuk mencapai mimpi kita, sudah jelas, kita harus berjuang. Tapi ternyata berjuang aja butuh kesabaran. Sabar dalam berjuang, konsisten, agar nggak berhenti di tengah jalan.

Kedua, tidak ada sukses yang diraih secara instan. Semua step by step.
Menjadi penulis memang impian saya—sejak dulu. Saya bermimpi bisa menjadi penulis novel bestseller, yang bukunya udah tersebar di seantero Indonesia Raya. Yang novelnya diangkat ke layar lebar, kayak 5 cm dan perahu kertas gitu. Wkwkwk. Tapi kan nggak mungkin juga saya tiba-tiba cling jadi orang besar secara mendadak. Semua butuh proses. Mendaki gunung aja perlu waktu lama dan melelahkan, nggak bisa sekali kedip sampai puncak. Saya tahu apa yang saya lakukan ini belum seberapa. Mixed Taste ini baru secuil langkah kecil aja, baru permulaan. Yap, semua memang perlu proses, nggak bisa instan. Sama seperti kami sekarang yang masih harus nunggu. Siapa bilang kalau kuliah di STAN udah pasti langsung sukses? Di sini juga ada pahitnya, beroooo :( *ealah, malah curcol*  

Ketiga, kita akan lebih menghargai sesuatu yang didapat dengan pengorbanan daripada sesuatu yang didapatkan secara instan.
Sebenernya, sebelum Mixed Taste, saya sudah punya buku kumpulan cerpen. But, buku itu saya dapatkan dengan sangat mudah. Buku itu dibuat oleh seseorang tanpa sepengetahuan saya, yang tentu saja saya tidak memiliki andil apapun dalam pembuatan buku itu. Dia mengumpulkan cerpen-cerpen saya dan membuatnya dalam sebuah buku kumpulan cerpen. Waktu dikasih ke saya, semua sudah rapi dalam bentuk buku. Iya, sayang seneng banget waktu itu. Surprise. Tapi ternyata, yang kali ini saya lebih excited. Apa yang saya impikan, apa yang saya rencakanan, apa yang saya usahakan, dan akhirnya menjadi apa yang saya dapatkan. Serius deh, saya seneng pakai banget :”)

Keempat, kebanyakan orang cenderung melihat hasil akhir, bukan proses.
Hahaha, pas udah jadi bukunya, yang nodong minta buku gratisan sama saya banyak banget. Iya sih, meskipun saya tahu mereka hanya bercanda, mehehe. Kalau saya jadi mereka, saya pun akan melakukan hal yang sama.
FYI, kalau saya jadi penulis bestseller yang bisa dengan mudah bagi-bagi buku, saya mungkin bisa berbagi gratisan paling nggak ke temen-temen saya. Buuut, ini loh buku saya dijualnya secara online doang, yang saya sendiri harus bayar kalau mau mendapatkan buku itu :(
Nggak segampang itu saya mendapatkan buku ini :(

Kelima, ada hal yang tidak bisa dinilai dengan materi.
Kalau apa yang saya lakukan ini dinilai dengan materi, saya rugi. Rugi aja pake banget. Apa yang telah saya korbankan, tidak sesuai dengan apa yang akan saya dapatkan. Korban uang, korban waktu, capek. Bahkan untuk akomodasi pembuatan Mixed Taste ini, saya nggak minta uang dari orang tua. Saya pakai uang dari hasil ngajar. Dan materi yang akan saya dapatkan nanti belum tentu seberapa.
Kalau dari awal orientasi saya adalah materi, mending saya nggak nulis buku ini. Saya minta aja ke orang tua, insya Allah masih dikasih—mengingat royalti penulis buku itu sedikit. Tapi kan ini bukan masalah duitnya berapa, tapi masalah kepuasan. Dan saat Mixed Taste ini jadi, subhanallah, rasa senengnya udah lebih dari cukup. Kalau pun nanti saya bisa dapetin materi dari Mixed Taste ini, bagi saya itu adalah bonus dari apa yang saya tekuni selama ini.     

Duuuh, ini kenapa saya jadi berasa sok bijak gini. Wkwkwk. Serius nggak ada maksud apa-apa, saya cuma ingin berbagi tentang apa yang saya dapatkan. Dan karena saya telah merasakan gimana excitednya bisa punya buku sendiri, saya bener-bener berharap teman-teman saya juga merasakannya. Mbak Tewe, Tiara, Dewi, Kak Ririn, ah aku tahu seberapa banyak stock cerpen kalian. Daripada  cuma dianggurin di laptop, kalian bikin buku akan jauh lebih berharga. Dijamin deh! Buat temen-temen saya yang juga suka nulis, tetep nulis. Kalian pasti bisa punya buku sendiri J

Maaf kalau saya lebay dan norak sekali L