Minggu, 27 Januari 2013

Bukan Itu!

“Dasar, anak sama ibu sama aja! Kalau berani sini, lawan aku! Beraninya sama anak kecil. Lihat yaa, Rum, aku sumpahin anakmu mandul tujuh turunan!”

Ningrum memijit-mijit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Ia bersandar di kursi kayu milik tetangganya yang tadi melerai adu mulutnya dengan si Suti-Suti siapalah itu, anggap saja Ningrum sudah tidak kenal. Bertetangga tapi tidak pernah bertegur sapa, adu mulut sih iya.

Sudah jadi rahasia umum, semenjak Eko, pacar anaknya Ningrum, selingkuh sama anaknya Suti hubungan tetanggaan mereka memburuk. Eko yang kala itu masih pacaran sama Nita, ternyata diam-diam sering menyelinap untuk membawa Rahmi, tetangganya Nita sekaligus anaknya Suti, untuk pergi bersama. Dan ujung-ujungnya Rahmi hamil. Jadi, jangan salahkan Nita maupun Ningrum kalau sekarang benci setengah hidup sama Adit, anaknya Eko dan Rahmi.

Kalau Adit main bareng-bareng teman kecilnya di sekitar rumah Nita, Nita dengan sengaja membagikan permen untuk mereka. Tentu saja Adit tidak diberi. Ujung-ujungnya, Adit pulang, sambil nangis, sambil ngadu. Kalau sudah begitu, adegan si Suti keluar bawa sapu, ngomel-ngomel, mengeluarkan sumpah serapah kepada Ningrum dan Nita pun tak terelakkan. Seperti kejadian baru saja.

“Omongannya Suti?” Poniyem meletakkan segelas air putih di meja hadapan Ningrum. “Nggak usah diambil hati, kayak nggak tahu dia aja!”

Ningrum membuka mata, ia buru-buru meneguk segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering akibat adu mulut yang sengit tadi. “Bukan, bukan itu! Oh, makasih!”

Poniyem hanya membalas dengan senyum. Ningrum menyandarkan tubuhnya lagi dan sekarang menatap langit-langit. Seperti sedang berpikir.

“Sudahlah, nggak usah terlalu dipikirin.”

“Tapi omongannya Suti itu kok—“

“Kita semua maklum, bukankah kelakuan dia memang seperti itu.”

“Bukan! Bukan itunya. Suti tadi nyumpahin anakku mandul tujuh turunan.”

“Jangan percaya sama sumpah-sumpahan gitu!”

Ningrum masih menatap langit-langit. “Memangnya mandul tujuh turunan itu ada? Bukankah kalau mandul itu nggak bakal punya keturunan?” Dia terlihat berpikir keras.

Poniyem melongo.
-END-

Whateva lah ini cerpen atau hanya tulisan geje. Cuma lagi kesel. Lagi bete. Lagi males. Lagi %#^*&(*(^&^*(@. Dan nulis. Dan jadinya kayak gini. Sekian.

Piala Untuk Bapak


Seorang perempuan berusia tiga puluhan berjalan santai memasuki ruang kerjanya. Jalanan tidak begitu macet pagi ini sehingga ia bisa sampai tempat kerja lebih awal dari biasanya. Ia mendorong pintu dihadapannya sehingga menimbulkan decitan kecil, lantas ia memasuki ruangan ber-AC itu.

Setelah melatakkan tas kerja, ia duduk dan memakai kacamata minusnya. Berniat menikmati waktu yang belum padat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Tangan kanannya menyentuh sebuah benda saat ia memasukkannya ke dalam saku jas. Ditariknya benda berbentuk persegi panjang itu, sebuah dompet kulit berwarna cokelat. Tak lantas memasukkan dompet ke dalam tas, ia justru membuka dompet itu. Terlihat sebuah foto hitam putih terpampang di wadah plastik di tengah dompet itu.

Dua orang sedang duduk berdampingan dengan seorang anak kecil di tengahnya. Ketiganya tersenyum ke arah kamera.
---

Minggu, 20 Januari 2013

Untuk Papa


Pa, apa kabar hari ini? Gimana tidurnya semalem, Pa? Nyenyak? Papa udah makan? Apa Papa masih sempet minum secangkir teh sebelum berangkat ke kantor tadi pagi?

Pa, malem ini Mama tiba-tiba keinget semua. Saat panggilan sayang kita berubah dari awalnya cuma manggil nama terus jadi Mama-Papa, kalau nggak salah itu tiga hari setelah kita nikah, kan? Saat kita pindahan rumah, terus ribet cuma gara-gara nentuin letak kulkasnya mau dimana. Secangkir teh sebelum papa berangkat ngantor. Saat Papa suka meluk Mama dari belakang tanpa alasan, padahal Mama lagi masak. Saat Papa marah habis-habisan ketika Mama jatuh terpeleset di kamar mandi saat usia kehamilan Mama baru tiga bulan. Sejak saat itu Papa jadi overprotektif, nyebelin banget, Pa. Papa inget juga, gimana dulu Papa khawatir banget nunggu Mama melahirkan? Waktu udah lahiran, Papa nangis di samping Mama dan nyium kening Mama lamaa banget. Papa yang dulu di kantor dikit-dikit nelpon Mama nanyain Ara, dan Mama jadi cemburu. Inget juga gimana kita bercandaan bareng bertiga sama Ara di kamar sebelum tidur. Atau diam-diam pindah ke kamar sebelah malem-malem setelah Ara tidur, terus kita. . .Mama rasa nggak usah dijelasin di sini.

Mama tahu, Mama bukan manusia sempurna. Dari kebahagian kecil yang ada di antara kita, sebenarnya lebih banyak kesedihan yang tak perlu diungkit lagi. Dan kalau boleh jujur, Mama masih berharap akan ada sesuatu yang menyelamatkan kita, Pa. Bagaimana pun, tidak ada sebuah perpisahan yang baik.

Pa, malam ini seperti biasa Mama menceritakan sebuah dongeng untuk Ara sebelum dia tidur. Mama bercerita tentang dongeng seorang tuan putri dan pangeran yang akhirnya hidup bahagia selamanya. Dan pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Papa kemana? Untuk saat ini, Ara masih percaya kalau Papanya sedang tugas keluar kota seperti biasa. Tapi Mama tahu tidak akan selamanya terus begini. Dan Mama bingung bagaimana harus menjelaskan kepada Ara tentang semua yang terjadi di antara kita. Dia masih lima tahun, masih cukup kecil untuk memahami semuanya. Bantu Mama ya, Pa!

Pa, Mama kangen. Mama kepikiran Papa. Kalau Papa mau pulang, masih selalu ada secangkir kopi tiap malam seperti tiap Papa pulang kantor dulu.

Sampai jumpa besok di persidangan, Pa. Mama selalu berdoa yang terbaik. Terima kasih, dan maaf untuk semua.

With love,
Aku yang masih ingin kamu panggil Mama
***

Sent?
No. Save to Draft.

-END-

Otak saya baru konslet dan mendadak jadi eror, maka jadilah saya menulis note geje beginian, wkwk. Ceritanya, saya baru mengkhayal menjadi seorang istri yang akan menghadapi sidang perceraian. Ampun deh! Sumpah amit-amit, saya tidak pernah berharap bakalan ngalamin ini besok. Naudzubillah. Saya pengennya berending happily ever after. Aamiin :D

On The Phone



Her
Demi Neptunus, sejak pagi sampai matahari panasnya udah hampir kena ubun-ubun aku cuma gelindingan di kasur natapin ponsel yang nggak berdering-dering. Bosen dan nyebelin. Punya pacar satu aja nggak tahu juntrungannya. Semalem yang harusnya kita pergi nonton, batal gara-gara hujan deres banget. Dan sekarang, belum ada kabar sama sekali sejak aku buka mata. Great!

Jadi, baiknya aku menghubungi dia atau nggak? Sebenernya pengen tahu banget dia kemana dan lagi apa, tapi males kan, dia aja nggak ngehubungin aku dari tadi. No say hi. Duuhh, aku udah komat-kamit sendirian sambil musatin pikiran ke ponsel yang ada di atas bantal.

Call me, call me, call me, please. Kali ini aku berharap banget dia nangkap radarku.

Selasa, 15 Januari 2013

Forgive Me

Setelah melepaskan helmnya, Daniel memastikan tatanan rambutnya tidak berantakan melalui kaca spion motornya. Setelahnya, dia melangkah panjang dan bergegas menaiki lift dari area parkir basement sebuah pusat perbelanjaan. Dia menarik dengan cepat ponsel dari saku celananya dan segera menekan tombol speed dial untuk menghubungi seseorang.

Daniel mendekatkan ponselnya ke telinga dan suara nyaring segera menggantikan nada sambung yang baru sekali terdengar.

“Ze, aku udah sampai kamu dimana?”

“Langsung ke atas aja, aku di depan Nachos.”

“Okee.”

The Simple Refrain



When I read this book, saya bisa membayangkan dengan jelas setiap adegannya. Otak saya seperti sedang memutar sebuah film. Jelas sekali. Detail. Saya seolah-olah sedang menonton Refrain versi filmnya. Mungkin karena saya pernah menemukan hampir semua bagian adegan Refrain ini di film.

Jadi, Refrain ini bagi saya sederhana. Entah karena temanya sudah biasa atau memang temanya yang dekat dengan pembaca, tapi saya merasa. . .saya sudah sering banget dengan cerita seperti ini. Hampir tidak ada kejutan. Bagian yang mengejutkan adalah ketika Niki yang cheers abis pada akhirnya mengabdikan diri sebagai seorang guru SD, mehehe, rada kaget juga. Abis kayak kurang pas gitu.

But, I like it. Saya selalu suka dengan cerita persahabatan, cerita anak sekolahan, dan yah memang deket banget. Banyak quotes yang ngena, yang bikin saya nggak bisa menyangkal dan bilang “oh, iya ya”. Intinya, Refrain ini sederhana yang tidak sederhana. Nah loh?

Saya suka dengan Nata yang karakternya cuek tapi peduli, sarkastik, tapi so sweet juga u,u. Niki yang selalu bersemangat, energinya sampai ke saya. Annalise, mmm, saking calmnya bagi saya justru agak tenggelam di sini. But, saya merasa dia adalah pihak yang sebenernya paling nyesek di sini T-T. Oliver, jujur saya tidak terlalu suka, too good too be true. Padahal sempet ngerasa keren pas bagian pertama dia ngajak kenalan Niki, tapi ternyata sama aja. Helena, yah, seperti tokoh antagonis kebanyakan. Punya kakak kayak Danny? Boleh juga kayaknya :D

Refrain bisa memaksa saya untuk tidak bisa berhenti membaca sebelum halaman terakhir. Refrain bisa membuat saya ikut menulis. Dan itu cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa novel ini. . .recomended :)

Jumat, 11 Januari 2013

Oleh-oleh dari Negeri 5 Menara


Orang berilmu dan beradab tidak akan berdiam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.

(Imam Syafii)

Rabu, 09 Januari 2013

Ku Di Sini, Kau Di Sana


"Selamat ya, Elya, atas terpilihnya sebagai Ketua HIMIKA 2013. Elo keren banget, El!"
(Adin to Elya, 27 Desember 2012)

Hari itu, seharian mood saya dalam ambang batas amat baik sebelum akhirnya mendapat sebuah kabar yang praktis bikin saya galau dadakan. Udah sering sih saya mendadak galau, nggak perlu dikhawatirin lagi. Lagian juga kagak ada yang khawatir sama saya *brb berteduh di bawah shower*.

Minggu, 06 Januari 2013

Sehat : Yeay!


“Kita baru akan mensyukuri sehat justru saat sakit datang.”

Hari ini, saya benar-benar merasakan kebenaran kalimat di atas. Betapa sehat adalah salah satu nikmat yang sering kita lupa untuk mensyukurinya. Betapa sehat itu emang enak banget. Ceilah, tumben saya bijak banget gini.