“Dasar, anak sama ibu sama aja! Kalau berani sini, lawan aku!
Beraninya sama anak kecil. Lihat yaa, Rum, aku sumpahin anakmu mandul
tujuh turunan!”
Ningrum memijit-mijit pangkal hidungnya sambil
memejamkan mata. Ia bersandar di kursi kayu milik tetangganya yang tadi
melerai adu mulutnya dengan si Suti-Suti siapalah itu, anggap saja
Ningrum sudah tidak kenal. Bertetangga tapi tidak pernah bertegur sapa,
adu mulut sih iya.
Sudah jadi rahasia umum, semenjak Eko, pacar anaknya
Ningrum, selingkuh sama anaknya Suti hubungan tetanggaan mereka
memburuk. Eko yang kala itu masih pacaran sama Nita, ternyata diam-diam
sering menyelinap untuk membawa Rahmi, tetangganya Nita sekaligus
anaknya Suti, untuk pergi bersama. Dan ujung-ujungnya Rahmi hamil. Jadi,
jangan salahkan Nita maupun Ningrum kalau sekarang benci setengah hidup
sama Adit, anaknya Eko dan Rahmi.
Kalau Adit main bareng-bareng teman kecilnya di
sekitar rumah Nita, Nita dengan sengaja membagikan permen untuk mereka.
Tentu saja Adit tidak diberi. Ujung-ujungnya, Adit pulang, sambil
nangis, sambil ngadu. Kalau sudah begitu, adegan si Suti keluar bawa
sapu, ngomel-ngomel, mengeluarkan sumpah serapah kepada Ningrum dan Nita
pun tak terelakkan. Seperti kejadian baru saja.
“Omongannya Suti?” Poniyem meletakkan segelas air
putih di meja hadapan Ningrum. “Nggak usah diambil hati, kayak nggak
tahu dia aja!”
Ningrum membuka mata, ia buru-buru meneguk segelas air
putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering akibat adu mulut yang
sengit tadi. “Bukan, bukan itu! Oh, makasih!”
Poniyem hanya membalas dengan senyum. Ningrum
menyandarkan tubuhnya lagi dan sekarang menatap langit-langit. Seperti
sedang berpikir.
“Sudahlah, nggak usah terlalu dipikirin.”
“Tapi omongannya Suti itu kok—“
“Kita semua maklum, bukankah kelakuan dia memang seperti itu.”
“Bukan! Bukan itunya. Suti tadi nyumpahin anakku mandul tujuh turunan.”
“Jangan percaya sama sumpah-sumpahan gitu!”
Ningrum masih menatap langit-langit. “Memangnya mandul
tujuh turunan itu ada? Bukankah kalau mandul itu nggak bakal punya
keturunan?” Dia terlihat berpikir keras.
Poniyem melongo.
-END-
Whateva lah ini cerpen atau hanya tulisan geje. Cuma
lagi kesel. Lagi bete. Lagi males. Lagi %#^*&(*(^&^*(@. Dan
nulis. Dan jadinya kayak gini. Sekian.
Minggu, 27 Januari 2013
Piala Untuk Bapak
Seorang
perempuan berusia tiga puluhan berjalan santai memasuki ruang kerjanya. Jalanan
tidak begitu macet pagi ini sehingga ia bisa sampai tempat kerja lebih awal
dari biasanya. Ia mendorong pintu dihadapannya sehingga menimbulkan decitan
kecil, lantas ia memasuki ruangan ber-AC itu.
Setelah
melatakkan tas kerja, ia duduk dan memakai kacamata minusnya. Berniat menikmati
waktu yang belum padat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Tangan
kanannya menyentuh sebuah benda saat ia memasukkannya ke dalam saku jas.
Ditariknya benda berbentuk persegi panjang itu, sebuah dompet kulit berwarna
cokelat. Tak lantas memasukkan dompet ke dalam tas, ia justru membuka dompet
itu. Terlihat sebuah foto hitam putih terpampang di wadah plastik di tengah
dompet itu.
Dua orang
sedang duduk berdampingan dengan seorang anak kecil di tengahnya. Ketiganya tersenyum
ke arah kamera.
---
Minggu, 20 Januari 2013
Untuk Papa
Pa, apa
kabar hari ini? Gimana tidurnya semalem, Pa? Nyenyak? Papa udah makan? Apa Papa
masih sempet minum secangkir teh sebelum berangkat ke kantor tadi pagi?
Pa, malem
ini Mama tiba-tiba keinget semua. Saat panggilan sayang kita berubah dari
awalnya cuma manggil nama terus jadi Mama-Papa, kalau nggak salah itu tiga hari
setelah kita nikah, kan? Saat kita pindahan rumah, terus ribet cuma gara-gara
nentuin letak kulkasnya mau dimana. Secangkir teh sebelum papa berangkat
ngantor. Saat Papa suka meluk Mama dari belakang tanpa alasan, padahal Mama
lagi masak. Saat Papa marah habis-habisan ketika Mama jatuh terpeleset di kamar
mandi saat usia kehamilan Mama baru tiga bulan. Sejak saat itu Papa jadi
overprotektif, nyebelin banget, Pa. Papa inget juga, gimana dulu Papa khawatir
banget nunggu Mama melahirkan? Waktu udah lahiran, Papa nangis di samping Mama
dan nyium kening Mama lamaa banget. Papa yang dulu di kantor dikit-dikit nelpon
Mama nanyain Ara, dan Mama jadi cemburu. Inget juga gimana kita bercandaan
bareng bertiga sama Ara di kamar sebelum tidur. Atau diam-diam pindah ke kamar
sebelah malem-malem setelah Ara tidur, terus kita. . .Mama rasa nggak usah
dijelasin di sini.
Mama tahu,
Mama bukan manusia sempurna. Dari kebahagian kecil yang ada di antara kita,
sebenarnya lebih banyak kesedihan yang tak perlu diungkit lagi. Dan kalau boleh
jujur, Mama masih berharap akan ada sesuatu yang menyelamatkan kita, Pa.
Bagaimana pun, tidak ada sebuah perpisahan yang baik.
Pa, malam
ini seperti biasa Mama menceritakan sebuah dongeng untuk Ara sebelum dia tidur.
Mama bercerita tentang dongeng seorang tuan putri dan pangeran yang akhirnya
hidup bahagia selamanya. Dan pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Papa kemana?
Untuk saat ini, Ara masih percaya kalau Papanya sedang tugas keluar kota
seperti biasa. Tapi Mama tahu tidak akan selamanya terus begini. Dan Mama
bingung bagaimana harus menjelaskan kepada Ara tentang semua yang terjadi di
antara kita. Dia masih lima tahun, masih cukup kecil untuk memahami semuanya. Bantu
Mama ya, Pa!
Pa, Mama
kangen. Mama kepikiran Papa. Kalau Papa mau pulang, masih selalu ada secangkir
kopi tiap malam seperti tiap Papa pulang kantor dulu.
Sampai jumpa
besok di persidangan, Pa. Mama selalu berdoa yang terbaik. Terima kasih, dan
maaf untuk semua.
With love,
Aku yang
masih ingin kamu panggil Mama
***
Sent?
No. Save to Draft.
-END-
Otak saya
baru konslet dan mendadak jadi eror, maka jadilah saya menulis note geje
beginian, wkwk. Ceritanya, saya baru mengkhayal menjadi seorang istri yang akan
menghadapi sidang perceraian. Ampun deh! Sumpah amit-amit, saya tidak pernah
berharap bakalan ngalamin ini besok. Naudzubillah. Saya pengennya berending
happily ever after. Aamiin :D
On The Phone
Her
Demi
Neptunus, sejak pagi sampai matahari panasnya udah hampir kena ubun-ubun aku
cuma gelindingan di kasur natapin ponsel yang nggak berdering-dering. Bosen dan
nyebelin. Punya pacar satu aja nggak tahu juntrungannya. Semalem yang harusnya
kita pergi nonton, batal gara-gara hujan deres banget. Dan sekarang, belum ada
kabar sama sekali sejak aku buka mata. Great!
Jadi,
baiknya aku menghubungi dia atau nggak? Sebenernya pengen tahu banget dia
kemana dan lagi apa, tapi males kan, dia aja nggak ngehubungin aku dari tadi.
No say hi. Duuhh, aku udah komat-kamit sendirian sambil musatin pikiran ke
ponsel yang ada di atas bantal.
Call me, call me, call me, please. Kali
ini aku berharap banget dia nangkap radarku.
Selasa, 15 Januari 2013
Forgive Me
Setelah
melepaskan helmnya, Daniel memastikan tatanan rambutnya tidak berantakan
melalui kaca spion motornya. Setelahnya, dia melangkah panjang dan bergegas
menaiki lift dari area parkir basement sebuah pusat perbelanjaan. Dia menarik
dengan cepat ponsel dari saku celananya dan segera menekan tombol speed dial
untuk menghubungi seseorang.
Daniel
mendekatkan ponselnya ke telinga dan suara nyaring segera menggantikan nada
sambung yang baru sekali terdengar.
“Ze, aku
udah sampai kamu dimana?”
“Langsung ke
atas aja, aku di depan Nachos.”
“Okee.”
The Simple Refrain
When I read this book, saya bisa membayangkan dengan jelas
setiap adegannya. Otak saya seperti sedang memutar sebuah film. Jelas sekali.
Detail. Saya seolah-olah sedang menonton Refrain versi filmnya. Mungkin karena
saya pernah menemukan hampir semua bagian adegan Refrain ini di film.
Jadi, Refrain ini bagi saya sederhana. Entah karena temanya
sudah biasa atau memang temanya yang dekat dengan pembaca, tapi saya merasa. .
.saya sudah sering banget dengan cerita seperti ini. Hampir tidak ada kejutan.
Bagian yang mengejutkan adalah ketika Niki yang cheers abis pada akhirnya
mengabdikan diri sebagai seorang guru SD, mehehe, rada kaget juga. Abis kayak
kurang pas gitu.
But, I like it. Saya selalu suka dengan cerita persahabatan,
cerita anak sekolahan, dan yah memang deket banget. Banyak quotes yang ngena,
yang bikin saya nggak bisa menyangkal dan bilang “oh, iya ya”. Intinya, Refrain
ini sederhana yang tidak sederhana. Nah loh?
Saya suka dengan Nata yang karakternya cuek tapi peduli,
sarkastik, tapi so sweet juga u,u. Niki yang selalu bersemangat, energinya
sampai ke saya. Annalise, mmm, saking calmnya bagi saya justru agak tenggelam
di sini. But, saya merasa dia adalah pihak yang sebenernya paling nyesek di
sini T-T. Oliver, jujur saya tidak terlalu suka, too good too be true. Padahal
sempet ngerasa keren pas bagian pertama dia ngajak kenalan Niki, tapi ternyata sama aja. Helena, yah, seperti tokoh
antagonis kebanyakan. Punya kakak kayak Danny? Boleh juga kayaknya :D
Refrain bisa memaksa saya untuk tidak bisa berhenti membaca
sebelum halaman terakhir. Refrain bisa membuat saya ikut menulis. Dan itu cukup
bagi saya untuk mengatakan bahwa novel ini. . .recomended :)
Jumat, 11 Januari 2013
Oleh-oleh dari Negeri 5 Menara
Orang berilmu dan beradab tidak akan
berdiam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke
negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti
dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa
setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak,
kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan
dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak
akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak
dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan
memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum
digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.
(Imam Syafii)
Rabu, 09 Januari 2013
Ku Di Sini, Kau Di Sana
"Selamat ya,
Elya, atas terpilihnya sebagai Ketua HIMIKA 2013. Elo keren banget, El!"
(Adin to
Elya, 27 Desember 2012)
Hari itu,
seharian mood saya dalam ambang batas amat baik sebelum akhirnya mendapat
sebuah kabar yang praktis bikin saya galau dadakan. Udah sering sih saya
mendadak galau, nggak perlu dikhawatirin lagi. Lagian juga kagak ada yang
khawatir sama saya *brb berteduh di bawah shower*.
Minggu, 06 Januari 2013
Sehat : Yeay!
“Kita baru akan mensyukuri sehat justru saat sakit datang.”
Hari ini,
saya benar-benar merasakan kebenaran kalimat di atas. Betapa sehat adalah salah
satu nikmat yang sering kita lupa untuk mensyukurinya. Betapa sehat itu emang
enak banget. Ceilah, tumben saya bijak banget gini.
Langganan:
Postingan (Atom)