Selasa, 15 Januari 2013

Forgive Me

Setelah melepaskan helmnya, Daniel memastikan tatanan rambutnya tidak berantakan melalui kaca spion motornya. Setelahnya, dia melangkah panjang dan bergegas menaiki lift dari area parkir basement sebuah pusat perbelanjaan. Dia menarik dengan cepat ponsel dari saku celananya dan segera menekan tombol speed dial untuk menghubungi seseorang.

Daniel mendekatkan ponselnya ke telinga dan suara nyaring segera menggantikan nada sambung yang baru sekali terdengar.

“Ze, aku udah sampai kamu dimana?”

“Langsung ke atas aja, aku di depan Nachos.”

“Okee.”


Klik! Daniel kemudian menyimpan kembali ponselnya. Merasa agak aneh dengan percakapan yang baru saja terjadi. Selama ini mereka selalu ngobrol panjang-panjang dan sering berbasa-basi bukan to the point seperti yang baru saja terjadi. Daniel menyadari satu hal, bahwa kegugupan bisa membawa perubahan yang cukup signifikan. Tanpa disadari, jantungnya berdegup makin kencang dan dia berkali-kali melirik setelan jeans dan kaosnya. Memastikan bahwa dia dalam kondisi paling keren hari itu.

Nonton bareng Ze untuk pertama kali. Dia menggumam dalam hati dan saat itu juga ada yang berdesir di dalam hatinya. Dia menarik napas panjang sebelum masuk ke bioskop tempat mereka janjian. This is the time, God bless me, please!

Kondisi bioskop siang itu sedang penuh sesak, Daniel harus berjinjit untuk menemukan gadis mungil itu. Dia menyelinap di antara antrian yang mengular untuk menuju mesin popcorn yang disebutkan Ze di obrolan singkat tadi. Dengan cepat, matanya menangkap siluet yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Dia tengah berdiri dalam balutan dress vintage simple, rambut sebahunya dibiarkan terurai begitu saja. Meskipun jarak mereka masih jauh, Daniel bisa dengan jelas melihat profil wajah gadis itu dari samping.

Tiba-tiba ruang antri bioskop itu berubah menjadi taman penuh bunga-bunga yang beterbangan. Angin semilir menerbangkan beberapa anak rambut Ze. Dengan gerak slow motion, ia menoleh ke arah Daniel dan pandangan mereka bertemu. Ze tersenyum manissss sekali dan Daniel seperti menemukan oase di tengah gurun. Sejukkk sekali.

Bukk! “Permisi, bisa agak minggir? Jangan mengganggu antrian!”

Dan seketika, taman bunga berubah menjadi ruang antri bioskop yang penuh lagi. Daniel meringis dan segera menghampiri Ze yang baru saja melambaikan tangan ke arahnya.

“Udah lama?” Daniel membuka pembicaraan.

“Yah, yang jelas tiket udah di tangan. Untung nggak kehabisan.” Ze tersenyum simpul di akhir kalimatnya. Lihatlah! Betapa hanya dengan tersenyum, gadis itu terlihat begitu menawan.

Daniel menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Merasa bersalah. Dengan antrian yang sepanjang ini, dia yakin Ze sudah berdiri lama untuk mendapatkan tiket. “Maaf ya, tadi ada masalah sedikit!” Daniel menyesal sendiri kenapa tadi menghabiskan waktu terlalu lama di depan cermin. Hal yang selama ini hampir tidak pernah dia lakukan. Ternyata, bukan hanya cewek yang tiba-tiba ribet ketika akan menghadapi kencan pertama.

Ini semua memang gara-gara Ze. Gadis itulah yang sudah tiga bulan ini menjadi alasan Daniel sering bertingkah di luar kewajaran. Sering berputar untuk menuju kantin hanya karena ingin lewat depan kelas Ze. Sering searching resensi novel teenlit hanya agar dia nyambung ngobrol dengan gadis itu. Tiba-tiba menyukai lagu-lagu bertemakan cinta. Sampai hal kecil seperti menyempatkan membaca ulang deretan SMS dari Ze sebelum dia tidur, dan dia akan tersenyum sendiri bahkan hanya dengan membaca pesan : heh, dasar kamu yaaa >.< *timpuk batu*.

Dan hari ini, setelah semalaman berlatih di depan cermin dan menuliskan kalimat apa saja yang harus dia ucapkan, dia bertekad untuk menyatakan perasaannya kepada Ze. Daniel sebenarnya tahu, tanpa diungkapkan, Ze bisa merasakannya. Karena mata mereka pernah saling berbicara, seperti saat Daniel dan Ze berteduh dari hujan minggu lalu sepulang sekolah. Saat Daniel menggumam lirih, “Kalau bisa hujannya nggak usah berhenti, biar aku bisa lebih lama di sini, denganmu,” kemudian mereka saling menatap lama, dan akhirnya Ze mengalihkan pandangan sambil tersenyum malu.

“Kamu harus membayar tiketnya lima kali lipat dari harga aslinya, buat ongkos ke tukang pijit. Pegel tauk berdiri lama!” Ze memasang muka cemberut.

Daniel terkekeh dan mengacak pelan rambut Ze. “Dasar kamu ya!”

“Daaaannn!” Ze tambah cemberut dan langsung merapikan rambutnya. “Tarif tiket naik jadi sepuluh kali lipat. Ongkos buat ke salon.”

“Oh, ternyata ada yang udah dandan mati-matian buat ketemu aku hari ini.”

“Ih, pede banget. Nggak ya! Nggak!”

“Nggak salah?” Daniel menggoda lagi.

“Nggak, Daniiii, nggak!” Ze memukul pelan bahu Daniel dan Daniel pura-pura mengelus bahunya kesakitan. Daniel selalu suka dengan adegan seperti ini. Dimana Ze akan mengelak dengan wajah yang sudah memerah. Manis sekali.

“Zee, tiketnya lo yang. . .eh, jadi ini temen lo, eh, kamu itu?” seorang cowok tiba-tiba datang membawa dua kotak popcorn. “Hai, gue Pras!” dia kemudian menyerahkan sekotak popcorn karamel kepada Ze dan mengulurkan tangan kanannya kepada Daniel.

Daniel agak bingung tapi kemudian membalas uluran tangan itu. “Daniel.”

“Lo sama siapa? Sendirian? Kirain tadi kita bakalan double date.”

Daniel mengernyit tidak mengerti. Double date? Dia kemudian menolah ke arah Ze dengan bingung dan seolah meminta penjelasan tentang siapa cowok yang tengah berdiri di sampingnya itu.

Mengerti dengan arti tatapan Daniel, Ze melirik cowok dengan jeans belel dan kemeja yang dibiarkan terbuka sehingga menampakkan kaos hitam yang dipakainya. “Dia—“

“Gue pacarnya Ze.” Belum sempat Ze menjawab, Pras sudah memotong. Dia kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk merengkuh pundak Ze.

Sedangkan di hadapannya, Daniel berdiri dengan tidak percaya. Apa tadi? Pacar? Daniel memastikan dia tidak salah dengar. Dia menatap Ze tajam untuk meminta penjelasan. Ze terlihat menggigit bibir bawahnya dengan gelisah dan mengangguk pelan.

Cukup dua anggukan, tapi gerakan itu sukses membuat Daniel berantakan. Hatinya gusar, otaknya tiba-tiba linglung. Antara tidak ingin percaya dengan apa yang dia hadapi dan nyeri karena tiba-tiba harapan yang sudah ia lambungkan limbung seketika. Ia ingin tertawa sambil berkata, “Mau ngerjain aku ya?” tapi melihat Pras merangkul pundak Ze dia tidak punya cukup keberanian untuk menyuarakannya.

“Tapi kamu nggak pernah cerita kalau punya pacar, Ze!” Justru kalimat itu yang meluncur dari mulutnya.

Ze terlihat diam sejenak. “Surpriseeee! Hari ini memang rencananya aku mau ngenalin Pras sama kamu, Daniii!” kalimat ceria itu muncul disertai sebuah rentangan tangan ke udara seolah ini adalah sebuah kegembiraan.

Daniel menggeleng tak percaya sambil tersenyum konyol. “Ze, bukannya hari ini kita janji nonton berdua?”

“Tadinya gitu, tapi berhubung Pras merengek ikut, gimana dong? Mukanya memelas banget tadi waktu aku mau berangkat,” Ze berujar, “jadi, aku pikir sekalian aja gitu ngenalin Pras ke kamu. Hehe. Nggak papa kan, Dan? Nanti deh lain kali kita nonton berdua aja, Pras pasti ngebolehin kok, dia nggak pernah ngelarang aku temenan sama siapa aja. Ya kan, Pras?” Ze menoleh ke arah Pras, agak mendongak karena memang perawakan Pras yang tinggi. Pras hanya membalas dengan seulas senyum sambil mengusap pelan rambut Ze, dan rasa sayang kentara sekali dari tatapan Pras.

Hati Daniel lebur tak karuan memandang adegan yang baru saja terjadi. Penjalasan Ze tak ubahnya sebuah dengungan panjang di telinganya. Tiba-tiba semua terasa gelap. Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini? Masih terasa hangatnya tangan Ze yang ia genggam saat hujan seminggu yang lalu. Saat setelah Daniel mengucapkan harapan agar hujan tidak berhenti, ia menggenggam tangan Ze dan Ze membalas genggaman itu. Adakah semua itu hanya sebuah momen tanpa makna? Apakah Ze memang berniat mempermainkannya? Atau memang selama ini Daniel hanya ke-GR-an dengan kedekatan mereka?

Lutut Daniel lemas seketika, badannya seakan tidak bertulang. Ia linglung. Otaknya menyuruh agar dia percaya bahwa memang Ze dan Pras adalah sepasang kekasih. Tapi hatinya menolak. Banyaknya pertanyaan terjejal yang membuatnya bingung sedikit mengabaikan perih yang dirasakan hatinya. Ternyata, dia tidak mengenal siluet itu dengan baik. Selama ini dia salah, dia tidak mengenal Ze.

“Kita masuk sekarang aja gimana? Tinggal beberapa menit lagi mulai nih!” kalimat Pras memecah keheningan yang tercipta selama beberapa detik. Beberapa detik yang terasa panjang bagi Daniel.

“Mmm, Ze, aku pulang ya,” seloroh Daniel cepat.

“Loh, Dan, kamu nggak ikut? Kan sebenernya kalian yang mau nonton?”

“Sebenernya gue harus nyerahin proposal ke temen hari ini. Have fun aja!” Ia membuat alasan yang terasa paling logis sambil tersenyum terpaksa.

“Yakin?” Ze memastikan sambil menatap Daniel.

“Siapa sih yang mau jadi obat nyamuk.” Daniel tertawa hambar. “Enjoy the movie ya!” Dia kemudian manarik diri dari hadapan Ze dan Pras. Berbalik dan melangkah bersama setumpuk rasa bingung. Baru beberapa langkah, suara Ze samar terdengar.

“Dani,” teriak Ze, “hati-hati ya!” suara itu terdengar cemas.

Daniel hanya tersenyum sekilas sambil mengangkat tangan kanannya dan bergegas secepat mungkin. Berusaha melangkahkan kakinya yang terasa amat berat. Sungguh sangat berbeda dengan ketika ia memasuki ruangan ini tadi.

Begitu keluar, ia terdiam sejenak memandang sekitar. Semua terasa abu-abu. Ia berharap, Ze menyusulnya dan berteriak, “April mooop!” sayang ini masih bulan Januari. Daniel menekan pelipisnya yang terasa berdenyut, otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia menggeleng lemah tak mengerti dan melangkah gontai mencari tong sampah terdekat. Ditariknya selembar kertas yang terlipat rapi dari saku celananya. Ia meremas kertas berisi kalimat yang telah ia susun rapi untuk mengungkapkan perasaanya kepada Ze itu menjadi gumpalan tak beraturan. Sama tak beraturan dengan keadaan hatinya saat ini. Dengan tatapan kosong, ia memasukkan gumpalan kertas itu ke tong sampah.

Ze, bisakah kau jelaskan semua ini?
***

Laki-laki itu mengangkat tangan kanannya dan dengan cepat berjalan berbelok ke kanan setelah berhasil keluar dari ruangan ini. Hanya dalam sepersekian detik ia hilang dari pandangan Ze. Tanpa disadari, Ze menghembuskan napas berat dan tertunduk lesu mengamati flat shoes abu-abu yang dipakainya. Ya, semua jadi terasa abu-abu sekarang.  

“Ternyata sakit ngeliat dia senyum padahal gue tahu dia terluka.” Ia menggumam lirih.

“Well done, bos!” Pras menepuk pundak Ze sambil tersenyum girang. “Solaria?” Dia kemudian menyebutkan nama café yang dijanjikan Ze jika dia berhasil berperan sebagai pacar (pura-pura) Ze.

Ze mengangkat wajahnya lesu. “Tapi ini?” dia menunjukkan tiga lembar tiket yang telah dibelinya.

“Itu sih soal gampang. Sini!” Pras dengan cepat merebut tiket tersebut dan berjalan menuju antrian, sedetik kemudian dia sudah berubah menjadi calo tiket. Tidak perlu menunggu lama, dia sudah kembali menghampiri Ze dengan senyum penuh keberhasilan.

“Tenang sebentar perutku, sebentar lagi kau akan mendapatkan jamuan makan siang yang lezat.” Pras merangkul Ze dengan girang dan mereka berlalu meninggalkan tempat itu.
***

“Ze, gue kemarin berhasil kenalan sama salah satu anggota cheers SMA Bina Karya. Yang tempo hari gue ceritain ke elo, iya yang orangnya kecil tapi lincah banget itu, inget kan?” Pras bercerita dengan semangat. “Gue dateng ke sekolahnya kemarin sepulang sekolah. Awalnya sih gue rada sangsi bakalan bisa nemuin dia, secara dia beda banget kalau pakai seragam sekolah. Dan biar dia gampang inget sama gue, gue pakai jersey yang waktu itu gue pakai tanding ngelawan SMA-nya dia. Lo tahu? Gue berhasil nganter dia pulang, Zeee. Gimana, sohib lo ini udah keren banget belum?”

“Ze?” Pras menatap cewek di depannya yang terlihat gelisah. “Zein Az-zahra, heloo, are you here?” Ia mengetukkan ujung gagang pisau untuk mendapatkan respon.

“Bagi gue lo itu nggak pernah keren. Lo itu nyebelin, Bemo!”

Pras terkekeh sendiri mendengar nama itu. “Gue anggep itu pujian. Ngomong-ngomong, lo nggak punya hak nyebut gue nyebelin, hari ini lo harus muji-muji gue sebagai hadiah gue telah melakukan tugas dengan baik. Daniel keliatan hancur banget tadi. Emang dia senyebelin apa sih, kok lo sampai tega nyuruh gue pura-pura jadi pacar lo di hadapan dia?” Dia mengiris potongan beef steak dari hot plate di hadapannya dan memasukkan potongan itu dengan cepat ke mulutnya.

Ze menghembuskan napas pendek sambil terus mengaduk-aduk cafe latte yang sudah hampir mendingin. Sahabatnya sejak SMP ini kalau udah ngomong emang nggak kenal titik koma. Beda banget sama Pras yang jadi pacarnya tadi.

“Ze, lo beli kopi cuma pengen lo aduk-aduk gitu?” Pras agak geram juga melihat kelakuan Ze yang berubah jadi tidak semangat.

Pras menatap Ze agak lama dan akhirnya mengerti, bukan saatnya ia berceloteh panjang lebar saat Ze sudah mulai diam seperti ini. Ia kemudian kembali menikmati beef steaknya dan membiarkan Ze tenggelam dalam kesibukannya. Selama beberapa detik yang terdengar hanya dentingan halus dari sendok yang beradu dengan dinding cangkir cafe latte.

Ze menyendok cairan pekat dari dalam cangkir itu dan mencicipinya. Gerakan itu terekam oleh mata Pras meskipun dia tidak melihat secara sempurna ke arah Ze. Ia kemudian melirik sachet gula di wadah keramik yang ada di atas meja itu. Belum terbuka.

“Jadi sekarang lo juga udah nikmatin kopi tanpa gula?”

“Gue jahat banget ya!” seakan tidak menanggapi Pras, Ze justru menggumam lirih, seolah-olah ia hanya berbicara kepada dirinya sendiri. “Melukai orang yang sebenernya gue sayangi!”

Pras hampir tersedak. Ia buru-buru menenggak teh botol untuk melancarkan makanan agar kembali ke jalan yang benar. “Tunggu-tunggu!” Ia kemudian berkata tergesa. “Melukai orang yang sebenernya lo sayangi? Maksudnya?”

Ze tersenyum ironis. Bagaimana bisa ia melakukannya? Menyakiti hati seseorang yang diam-diam telah ia amati sejak MOS SMA. Seseorang yang bisa membuatnya lumer hanya dengan sebuah senyuman. Seseorang yang namanya ia sematkan rapi di hatinya.

“Gue sama Dani itu beda, Pras,” tutur Ze tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir di hadapannya, “hampir tiga bulan gue deket sama dia, gue mencoba mengabaikan hal ini. Sampai dua hari yang lalu, saat gue ngeliat dia berdoa dengan khusyu’. Gue sadar, gue nggak bisa terus-terusan mengabaikan hal krusial ini. Tiba-tiba hati yang selama ini gue paksa untuk tidak mempermasalahkannya, kalah. Gimana pun, gue sama Pras enggak sama. He’s a christian, dan gue seorang muslim.”

Pras menyandarkan tubuhnya dan memasang tatapan tidak mengerti. “Dan itu alasan lo ngelakuin hal tadi? Lo. . .sumpah lo bego, Ze, bego banget!”

Ze hanya tersenyum. Dia menyadari hal itu.

“Lo kan bisa ngobrol baik-baik, nyari solusi bareng, dia juga pasti ngerti banget dengan masalah ini. Nggak perlu saling nyakitin kayak gini. Lo kan, ck, sumpah bagi gue, lo nggak punya cukup alasan untuk harus nyakitin dia, Ze.” Nada jengkel terdengar jelas dari suara Pras. 

Ze hanya tersenyum kecil. “Lo kenal Agatha kan? Sahabat gue yang sering main ke rumah?”

Pras mengingat-ingat. “Yang dia pernah dateng minjem kamera waktu gue di rumah lo itu?”

Ze mengangguk. “Dia suka sama Dani, Pras.”

Pras menegakkan tubuhnya kembali.

“Mungkin gue ini nggak peka. Temenan sama Aga udah sejak kelas sepuluh, bareng-bareng sama dia, ketawa-ketiwi, saling curhat, tapi gue nggak pernah ngerti kalau dia memendam perasaan buat Dani.”

“Terus kenapa bisa lo akhirnya tahu?” Pras terlihat antusias mendengarkan cerita Ze.

“Aga suka fotografi, dan beberapa waktu yang lalu, seperti biasa gue ngerjain tugas di rumah dia. Di kamar dia. Nggak sengaja, gue nemu album foto, dan di situ penuh dengan fotonya Dani yang dia ambil tanpa sepengetahuan Dani. Dia menempel foto-foto itu rapi, lengkap dengan diskripsinya. Klasik, dan indah banget, Pras.”

Ze terlihat menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Gue nggak bisa ngebayangin, gimana sakitnya Aga tiap ngeliat gue antusias banget nyeritain Dani. Gue emang nggak peka banget, Pras.”

Pras mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak Ze. Berusaha bersimpati.

“Sebelum semuanya lebih jauh, mending di akhiri aja kan? Gue nggak mau persahabatan gue sama Aga putus cuma gara-gara Dani,” ujar Ze. “Menurut lo, apa gue udah punya cukup alasan buat ngelakuin hal tadi?”

Pras tidak menjawab. Dengan semua cerita Ze, dia cukup mengerti kenapa Ze mengambil tindakan tadi. Pras kemudian menatap sahabatnya itu dengan prihatin. “Gue tahu Ze, sebenernya bukan cuma Daniel yang ngerasa sakit,” kata Pras kemudian.

Ze terlihat mencoba tersenyum, mengerti dengan maksud Pras.

Tiba-tiba Ze teringat tatapan Daniel ketika dia memperkenalkan Pras. Tatapan yang kosong, dan Ze belum pernah melihat tatapan Daniel yang semacam itu. Matanya sekarang kebas, terasa pedih dan panas. Ini yang terbaik, ya, mungkin memang menyakitkan tapi inilah yang terbaik. Ze berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Hanya dengan seperti ini, Dani akan lebih mudah melupakan gue,” gumam Ze dengan suara bergetar.

Kamu tidak perlu tahu yang sebenarnya, kamu cukup menganggap aku telah menyakitimu, dan kamu akan lebih mudah melupakan semua, Dani. Maafkan aku!    

-THE END-

Cukup lama saya nggak nulis cerpen, jadi cukup mengejutkan ketika menyadari bahwa saya berhasil menyelesaikan cerita ini. Wkwk. Rada aneh juga pas sampai di ending. Antara nggak percaya dan nggak puas. Yang ingin saya sampaikan sebenernya nggak begini, tapi kok jadinya begini? Duuh, susah ngejelasinnya. Tapi ya udah sih, yang penting saya bisa bikin satu cerpen, yihiiii. Unbelieveable. Judulnya maksa banget, kan? Alasan Ze yang tetep nggak bisa diterima, nggak bisa dipercaya. Wkwk.
Well, saya berharap akan ada yang meninggalkan komentar untuk cerita ini. Kritik dan saran akan lebih saya harapkan demi masa depan yang lebih baik (?) :D

2 komentar: