Her
Demi
Neptunus, sejak pagi sampai matahari panasnya udah hampir kena ubun-ubun aku
cuma gelindingan di kasur natapin ponsel yang nggak berdering-dering. Bosen dan
nyebelin. Punya pacar satu aja nggak tahu juntrungannya. Semalem yang harusnya
kita pergi nonton, batal gara-gara hujan deres banget. Dan sekarang, belum ada
kabar sama sekali sejak aku buka mata. Great!
Jadi,
baiknya aku menghubungi dia atau nggak? Sebenernya pengen tahu banget dia
kemana dan lagi apa, tapi males kan, dia aja nggak ngehubungin aku dari tadi.
No say hi. Duuhh, aku udah komat-kamit sendirian sambil musatin pikiran ke
ponsel yang ada di atas bantal.
Call me, call me, call me, please. Kali
ini aku berharap banget dia nangkap radarku.
Dan tanpa
kuduga semesta berkonspirasi menciptakan sebuah keajaiban yang sangat nyata.Tiba-tiba
aja ponselku berdering melantunkan nada under cover, yang jelas-jelas aku setting hanya untuk sebuah
nama. Dia. Aaaa, Tuhaaankuuu!
“Halo,”
sapanya setelah aku nerima panggilanmu.
Duhh,
megap-megap deh baru denger suaranya aja. Langsung kupeluk boneka beruang
pemberiannya.
“Halo?” sapanya
lagi, nada suaranya berasa sedang mastiin aku ada di sini atau nggak.
Hihi,
sengaja nggak langsung ngejawab sih, rasain.
“Cha?”
panggilnya sekali lagi.
“Ngerasa
separuh banget,” aduku.
Kemudian
terdengar derai tawanya yang khas di ujung sana. “Kangen ya?”
Banget. Batinku.
“You wish!” tapi
itulah yang terucap, gengsi dong ngaku.
Dan dia ketawa
lagi. “Ya udah kalau nggak mau ngaku, asal jangan ngambek aja ya!”
“Ngambek
kok!” jawabku sok ketus, padahal udah pengen melting aja denger suaranya yang
keliatan sabar banget ngadepin aku yang kayak anak kecil ini.
“Nggak
nyesel nih? Di luar sana banyak yang ngantri pengen aku telpon, dan kamu yang
beruntung cuma pengen ngambek aja, hmm?”
“Tu
kaaaaan!” kataku nggak terima.
Iya sih
kalau udah ngomongin beruntung, semua orang nganggap aku ini cewek paling
beruntung bisa dapetin Ketua OSIS macam si Rio ini, yang praktis sainganku sebenernya
bejibun.
“Ya udah,
jangan ngambek dong!” suaranya masih sabar banget, ya ampuun.
“Cinta
dulu!” pintaku manja. Gatau bawaan dari mana, tiap kali udah sama dia aku
bawannya pengen manja mulu.
“Jangan
ngambek dong, cintaa.”
“Yeesss!”
Dan dia ketawa
lagi di ujung sana. “Dasar kamu! Maaf yaa, lagi sibuk bikin konsep acara untuk
serah terima jabatan Ketua OSIS yang baru, jadi baru sempet say hello
sekarang.”
Duh, Tuhan,
tadi dia bilang apa? Sibuk bikin konsep acara? Jadi ngerasa bersalah nih tadi udah
mencak-mencak nggak jelas, padahal dia lagi mengemban tugas mulia. Aaa, maaf
ya, Rio, tapi jadi makin sayang deh!
“Udah
selesai? Ya udah, lanjut ntar aja kalau gitu,” kataku kemudian.
“Udah beres,
tinggal discuss sama Bu Winda besok. Di rumah, kan? Aku ke situ aja gimana?”
Hah? Ke
rumah? Perasaan tadi pagi aku nggak mandi kembang juga, kenapa jadi beruntung
banget? Tadi kan cuma minta ditelpon doang, ya ampuuun, nggak nolak kalau ini.
Nggak bakal nolak.
“Serius? Ya
udah, ke sini ajaaaaa!” Aku histeris.
Dia ketawa
lagi, nyadar kali ya aku tadi keliatan seneng banget.
“Wait for
me, darl,” katanya di seberang sana.
AAAAAA! Hobi
banget dia bikin aku speechless gini. Aku cuma tersenyum tanpa bisa menjawab,
dia tertawa sekali lagi dan mematikan sambungan. Hari ini, kamarku terasa lebih
sejuk dari biasanya.
***
Him
“Yaaa, semacam
opportunity cost sih, Yo. Kalau ada dua pilihan, A dan B, untuk mendapatkan A
aku harus mengorbankan B. Kuliah di Aussie emang masih rencana, tapi kalau
memang terlaksana, yah mau gimana lagi, aku ninggalin kesempatan buat kuliah di
sini,” kamu menoleh ke arahku, “ninggalin kesempatan buat bareng kamu.”
Lalu kamu
senyum gitu aja. Senyum yang kayak magnet, dan menarik tanganku untuk bergerak
membelai pipimu.
“Kamu emang
dewasa banget,” pujiku.
Kamu senyum
lagi. “Nanti kan kamu jadi nggak perlu repot-repot membagi waktu. Eh, atau mungkin
udah ada yang ketiga?” Kamu kemudian tertawa, dan aku merasa tersindir. Sial!
“Ngomong-ngomong,
aku telpon dia dulu ya. Takut dia curiga, dari pagi belum say hello sama
sekali,” kataku minta ijin. Sebenernya nggak usah ijin, kamu pasti nggak
bakalan ngelarang. Aku tahu, kamu ngerti banget posisimu.
Kamu
mencibir, memanyunkan bibirmu. “Tetep ya, resikooooo!”
Aku
menggerakkan tanganku untuk mengacak puncak kepalamu. “Kamu ini lho, kan aku
tetep menempatkan kamu sebagai prioritas pertama.”
“Iya iyaaa,
gih telpon dulu!”
Aku senyum,
sambil tidak mengalihkan pandangan darimu. Kamu yang juga lagi senyum ke
arahku, penuh pengertian. Kenapa aku
harus kenal Acha lebih dulu? Batinku.
Aku ngedipin
mata dua kali, kalau nggak, sampai nanti aku tetep bakalan terbius sama
senyumanmu, garis wajahmu yang lembut, dan tatapan matamu yang meneduhkan. Aku
menghadap ke arah depan sambil mendekatkan ponselku ke telinga. Tadi sebelumnya
udah mencet tombol angka satu, speed dial untuk dia, yang ada di seberang sana.
“Halo,” sapaku
saat dia menerima panggilanku padahal
nada sambung baru sekali terdengar.
Tapi kok
nggak ada jawaban?
“Halo?”
sapaku sekali lagi.
Aku lalu
senyum sendiri, pasti sengaja nih. Kebiasaan. “Cha?” panggilku lagi.
“Ngerasa
separuh banget,” katanya dengan nada penuh pengaduan.
Aku ketawa,
nah kan iya, dia emang nggak bakalan betah didiemin. “Kangen ya?” tanyaku
menggoda, sambil melirik kamu yang ada di dekatku. Kamu terlihat menunduk
memainkan jari-jari tanganmu.
“You wish!”
sekarang nada suaranya berubah jadi ketus, sok ketus sebenernya. Hahaha,
padahal aku tahu banget, dia lagi kangen pakai banget sama aku.
“Ya udah
kalau nggak mau ngaku, asal jangan ngambek aja ya!” rayuku, seperti biasa.
“Ngambek
kok!”
Dasar, dia
memang seperti anak kecil. “Nggak nyesel nih? Di luar sana banyak yang ngantri
pengen aku telpon, dan kamu yang beruntung cuma pengen ngambek aja, hmm?”
“Tu
kaaaaan!” katanya seperti nggak terima.
Aku ketawa
dalam hati. See? Sebenernya gampang meluluhkan gadis itu.
“Ya udah,
jangan ngambek dong!”
“Cinta
dulu!” mintanya manja.
Sebelum
mengabulkan permintaannya, aku melirikmu. “Jangan ngambek dong, cintaa,” rayuku
kemudian untuk Acha yang ada di seberang.
Kamu refleks
menoleh ke arahku seperti tidak terima, tapi aku langsung meraih tanganmu.
Menggenggamnya. Dan kamu senyum lagi. Untung
gampang diatasin juga!
“Yeesss!”
teriakan Acha terdengar nyaring di speaker ponsel.
Aku ketawa
lagi. Kalau aja aku sekarang lagi sama Acha, dia pasti seperti anak kecil yang mendapatkan
sebuah balon setelah merengek. Tapi, gimana pun juga aku suka dengan cara Acha
bersikap manja kepadaku. Dan juga suka dengan dewasanya Dea.
“Dasar kamu!
Maaf yaa, lagi sibuk bikin konsep acara untuk serah terima jabatan Ketua OSIS
yang baru, jadi baru sempet say hello sekarang,” kataku.
Adalah
gampang bagiku membuat alasan untuk berbohong. Semua orang akan percaya jika
seorang Ketua OSIS sepertiku sibuk dengan urusan keorganisasian. Dan Acha, dia
sangat pengertian dengan kesibukanku.
“Udah selesai?
Ya udah, lanjut ntar aja kalau gitu,” jawabnya.
Tuh kan iya!
“Udah beres,
tinggal discuss sama Bu Winda besok. Di rumah, kan? Aku ke situ aja gimana?” Aku
melemparkan sebuah penawaran yang aku tahu dia tidak akan menolak.
“Serius? Ya
udah, ke sini ajaaaaa!”
Dugaanku
memang selalu tepat. Nada suaranya terdengar riang sekali, membuatku tidak bisa
menahan untuk nggak ketawa.
“Wait for
me, darl,” ucapku kemudian.
Aku nunggu satu
detik, tapi nggak ada jawaban dari seberang sana. Siapa mau bertaruh? Aku yakin
Acha lagi pengen loncat-loncat di kasur sambil teriak-teriak geje saking
senengnya. Aku ketawa lagi, lalu menekan tombol merah untuk memutuskan
sambungan.
“Dan aku
harus ngalah lagi.” Kamu berdecak kesal. Aku menoleh ke arahmu yang sedang
manyun-manyun itu. Bikin senyum ngeliat kamu kayak gitu.
“Aku udah
dari tadi pagi loh di sini, Dea.”
Kamu kemudian
memandangku sambil tersenyum, seperti biasa lagi. “Gih buruan! Kalau ketauan,
aku juga yang repot. Bisa kena sembur si Acha ntar.”
Dan kami ketawa
bareng. Aku lantas mengusap rambutmu. “Aku pamit ya, hon.”
Kamu
mengangguk penuh pengertian. Well done untuk hari ini!
***
Gimana,
masih percaya sama yang di sana? ;)
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar