Seorang
perempuan berusia tiga puluhan berjalan santai memasuki ruang kerjanya. Jalanan
tidak begitu macet pagi ini sehingga ia bisa sampai tempat kerja lebih awal
dari biasanya. Ia mendorong pintu dihadapannya sehingga menimbulkan decitan
kecil, lantas ia memasuki ruangan ber-AC itu.
Setelah
melatakkan tas kerja, ia duduk dan memakai kacamata minusnya. Berniat menikmati
waktu yang belum padat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Tangan
kanannya menyentuh sebuah benda saat ia memasukkannya ke dalam saku jas.
Ditariknya benda berbentuk persegi panjang itu, sebuah dompet kulit berwarna
cokelat. Tak lantas memasukkan dompet ke dalam tas, ia justru membuka dompet
itu. Terlihat sebuah foto hitam putih terpampang di wadah plastik di tengah
dompet itu.
Dua orang
sedang duduk berdampingan dengan seorang anak kecil di tengahnya. Ketiganya tersenyum
ke arah kamera.
---
“Dihimbau
kepada pengguna jalan untuk memperhatikan portal kereta api demi keselamatan
berlalu lintas– “
Suara khas
yang tersiar dari speaker Stasiun Lempuyangan itu menggema sampai bangunan
besar tempat pengepakan barang. Bangunan seluas dua ratus meter persegi itu
hanya berjarak sepelemparan batu dengan Stasiun Lempuyangan.
Seorang
lelaki paruh baya terlihat sedang mengambil beberapa llipat kardus dan segulung
rafia untuk mengemas sebuah motor yang akan dipaket ke Jakarta. Ia tidak
mempedulikan lagi peluh yang mengaliri pelipisnya. Itu sudah hal yang biasa.
Sudah beberapa tahun ini ia bekerja sebagai pengemas barang untuk mencukupi
kebutuhan istri dan seorang anaknya.
Dengan
tekun ia menutupi bagian-bagian motor dengan kardus dan melilitkan rafia untuk
menahan kardus agar tidak lepas. Setelah selesai, ia berdiri dan bertolak
pinggang. Memandangi masih ada tiga motor lagi yang harus dikemasnya. Dia
menatap keluar sejenak, dan mendapati seorang gadis berkerudung tengah berjalan
melewati bangunan itu.
***
“Main
kemana saja?” tanya laki-laki itu saat gadis yang ia lihat tadi siang
menyodorkan segelas kopi untuknya.
“Ulang
tahunnya Fika, Pak,” jawab gadis itu, mengerti dengan maksud pertanyaan
Bapaknya.
“Anaknya
Pak Agung?” Pak Karto menyebutkan nama seorang terpandang di daerahnya.
Gadis itu
hanya menjawab dengan anggukan.
“Kehidupanmu
dengan mereka itu berbeda, nduk.
Jangan harap kamu bisa merayakan ulang tahun seperti Fika!” ujar Pak Karto
tegas. “Bapak ini cuma orang ndak punya.
Pas-pasan!”
Septi
mengeluh dalam hati. Lagipula siapa yang minta ulang tahunnya dirayain? Ia
paling tidak suka dengan pembicaraan seperti. “Septi hanya menghadiri undangan,
Pak.”
“Bapak
juga cuma mengingatkan, Sep. Bapak ndak
pengen kamu keblinger dan lupa
tugasmu!” Pak Karto meniup-niup kopi yang masih panas. Asapnya mengepul menerpa
wajahnya yang terlihat lelah.
Septi
tidak menjawab, ia memilih masuk ke dalam rumah. Selalu saja begitu. Tidak
boleh ini, tidak boleh itu. Selalu dinasehati setiap hari. Septi sudah kelas
dua SMP, sudah bukan anak kecil yang harus diingatkan setiap hari. Dia sudah
cukup mengerti apa saja yang harus ia lakukan dan tidak boleh ia lakukan. Ia
sudah tahu batasannya.
Tidak
perlu diingatkan kalau ia orang pas-pasan setiap hari juga ia sudah tahu diri
akan keadaan itu. Tidak perlu dinasehati terus-terusan kalau tugas utamanya
adalah belajar juga Septi akan selalu melaksanakan tugasnya. Kenapa, sih, Bapak
tidak pernah mengerti? Septi sudah bukan anak kecil lagi.
***
“Septi
jadi berangkat ke Bandung, Pak,” ujar Ibu pagi itu seraya menyendokkan nasi ke
piring Bapak. “Dananya dari sekolah kok. Paling cuma nambah buat keperluan
sendiri.”
Bapak
mengambil dua potong tempe tanpa berkomentar apa-apa. Seiring dengan itu, Septi
keluar dari kamar lengkap dengan seragam putih birunya. Ia bergegas mengambil
sarapan.
“Bu, nanti
Septi pulangnya agak sore lagi.”
“Jangan
main terus! Ingat amanah!” Pak Karto berujar tegas tanpa mengalihkan pandangan
dari piring dihadapannya.
“Septi ndak main, Pak, setiap pulang sekolah
ada pendalaman materi.” Ibu menengahi.
“Bapak
cuma mengingatkan. Usia seperti Septi itu masih labil, harus diingatkan terus,
Buk!” Bapak kemudian menoleh ke arah Septi. “Sep, Bapakmu ini bukan orang
berpendidikan. Bapak ndak bisa
ngomong dengan bahasa tinggi seperti orang tuanya Fika. Bapak ndak ngerti yang namanya biologi biologi
itu. Bapak ndak bisa menjanjikan sekolah
yang tinggi buat kamu. Kamu harus ngerti dengan keadaan ini. Tapi kalau kamu tetap
berani bermimpi tinggi, konsekuensinya cuma satu, kamu harus mau bekerja
keras.”
Septi
mengunyah campuran tempe dan nasi dalam mulutnya dengan kesal. Suasana sarapan
pagi itu mendadak menjadi tidak menyenangkan.
***
“Dua hari
lagi kamu berangkat,” kata Ibu sembari menuangkan bubuk detergent ke dalam
ember cucian. “Pulang saja, siap-siap!” Bu Ningsih memang seringkali mencari
tambahan penghasilan dengan menjadi buruh cuci gosok.
Septi
hanya tersenyum. “Ibu kok jadi kayak Bapak!”
“Niatnya
bapakmu itu baik, nduk. Tolong airnya
ditambah!”
Septi
mengambil selang dan memutar keran untuk mengalirkan air.
“Refreshing, Bu. Kalau belajar tiap hari,
nanti takutnya baru masuk ruangan Septi udah menang.”
Ibunya
hanya tersenyum, ia mulai mengucek pakaian satu per satu. “Ibu sudah pinjam
koper ke Mbak Anjar. Nanti langsung kamu ambil di rumahnya!”
Septi
hanya mengangguk dan mulai membantu Ibunya mengucek baju. “Kalau Septi bisa
menang Olympiade, Bu, kesempatan buat dapet beasiswa terbuka lebar. Mas Dika,
yang tahun lalu dapet perunggu, dapet beasiswa sampai kuliah.”
“Memangnya
kamu yakin mau kuliah? SMA saja belum tentu bisa, Sep.”
“Septi
pengen jadi dokter, Bu.”
***
“Besok-besok
lagi ndak usah nyuruh Septi ikut
kerja, Bu! Kalau sudah ndak sanggup
kerja, ya sudah ngurus rumah aja! Bapak akan cari kerja tambahan.”
Terdengar
suara samar Bapak yang bernada tegas dari ruang tamu. Septi yang baru pulang
dari mengambil koper, berhenti sejenak di luar rumah.
“Cuma
sebentar tadi, Pak. Lagipula, Septi butuh istirahat. Beberapa hari ini dia
sudah belajar terus.”
“Istirahat
itu santai di rumah, Bu. Bukannya disuruh nyuci!”
“Sampai
kapan Bapak mau menganggap Septi anak kecil?”
Septi
mengetuk pintu dua kali dan masuk tanpa dipersilakan. Ia tidak berani memandang
wajah bapak dan ibunya. Hanya menunduk membawa koper dan langsung bergegas ke
kamar.
“Kalau
udah nggak betah sekolah, langsung nyari kerja aja!” kata Bapak.
“Pak!” Ibu
berusaha menetralisir, ia tidak ingin terjadi perdebatan malam ini.
Sedangkan
Septi yang baru saja akan meninggalkan ruang tamu berbalik lagi. “Ibu nggak
nyuruh Septi kerja, Pak, Septi yang pengen.”
“Terus
kenapa harus sekolah kalau cuma mau jadi tukang cuci?”
“Pak,
sudah. Septi kamu masuk ke kamar saja, ya!” Ibu menatap Septi lekat,
mengisyaratkan agar ia tak memperpanjang pembicaraan.
“Kurang
uang saku dari Bapak selama ini? Bapakmu ini memang cuma adanya begini, Sep.
Bapak ndak bisa ngasih uang
banyak-banyak.”
“Septi
cuma membantu ibu, Pak, apa salah? Itung-itung sekalian refreshing,” kata Septi
dengan suara parau.
“Berhenti
sekolah aja!” Bapak setengah membentak. “Bapak ini kerja tiap hari cuma agar
kamu bisa sekolah, Sep. Masih untung kamu itu dapet beasiswa. Harusnya kamu
bisa bersyukur, dengan apa? Dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukan malah
ikut-ikutan kerja. Nyari uang biar jadi urusan bapak. Kalau nilaimu jelek dan
beasiswa dicabut, bapak ndak bisa
menjanjikan kamu bisa lulus di SMP favorit itu. Jadi orang itu yang nerima. Adanya ya kayak gini, pas-pasan!
Diterima!” Bapak meletakkan kopinya di atas meja.
“Kayak
gitu kok mau menang olympiade! Memangnya olympiade itu ditanyain caranya
nyuci,” gumam bapak seolah ia tidak berbicara pada siapapun.
Mata Septi
berkaca-kaca. Ibu segera berdiri dan mendekati Septi. “Sayur lodeh sama tahu bacem, Sep, makan dulu.”
“Septi
nggak lapar, Bu.”
Dan ia
langsung masuk kamarnya.
***
Dua hari
sejak perdebatan malam itu, Septi dan bapak tidak saling bertegur sapa. Sampai
hari ini, Selasa, hari ke berangkatan Septi ke Bandung untuk mengikuti
Olympiade Biologi tingkat Nasional.
“Sep,
sudah lengkap semua? Ndak ada yang
ketinggalan?” Ibu masuk ke kamar Septi untuk mengecek perlengkapan putri
satu-satunya.
“Sudah,
Bu. Bajunya sudah cukup untuk satu minggu,” jawabnya sambil menutup resleting
koper.
“Ini ada
tambahan uang saku, ndak usah beli
yang macem-macem ya di sana,” kata ibu sambil menyelipkan bundelan uang ke
dalam wadah yang lebih kecil di koper pinjaman itu.
“Terima
kasih, Bu, doakan Septi selalu!”
Bu Ningsih
mengusap kepala putrinya dengan mata berkaca-kaca. Diatapnya wajah gadis
berusia tiga belas tahun itu. Meski usianya masih belia, namun garis wajah
gadis itu terlihat lebih dewasa dari usianya. Ia lantas merapikan lipatan
kerudung yang digunakan Septi.
“Jangan
lupa pamit sama Bapak, ya.”
Sepasang
ibu anak itu akhirnya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu. Pagi ini,
bapak sepertinya sengaja tidak berangkat ke gudang. Bapak terlihat duduk di
ruang tamu sambil menikmati kopi seperti biasa. Septi menoleh ke arah ibu
sebelum minta ijin kepada bapak, tampak keraguan dari tatapan matanya. Ibu
hanya mengangguk dan tersenyum meyakinkan Septi.
“Pak,”
kata Septi ragu-ragu. Bapak sama sekali tidak menoleh. “Septi, berangkat. Mohon
doa restu.” Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan kepada bapak.
Bapak
tidak langsung menyambut uluran tangan Septi, ia memandang wajah putrinya
dalam-dalam. Ada sebuah kebanggaan terlesip dalam tatapan itu. Bapak lalu
membalas uluran tangan Septi, dan ketika Septi menunduk untuk mencium
tangannya, bapak mengulurkan kiri untuk menepuk pundak Septi.
“Bawakan
bapak piala, Sep!”
***
Septi
memandang hamparan awan melalui kaca jendela pesawat yang ditumpanginya. Sejauh
mata memandang, ia hanya melihat hijau dan biru, tapi ia yakin, di antara
titik-titik kecil yang ia lihat di bawah, ada Ibu dan Bapaknya yang selalu
menunggunya. Hatinya sudah tak sabar ingin segera bertemu orang yang begitu ia
cintai, memeluk mereka sembari memberi kabar gembira. Tak terasa, tangan Septi
menggenggam medali perak di tangannya lebih erat.
***
Bandara
pagi itu masih seperti biasa, banyak orang berlalu-lalang. Bedanya, kali ini
mereka berjalan dengan tergesa dan dengan wajah panik. Berbagai informasi dan
peringatan bersahutan dari speker Bandara Adisucipto. Dan kontigen olympiade
dari Jogja baru tahu, bahwa beberapa waktu yang lalu baru saja terjadi gempa
bumi.
***
Bangunan
dihadapan Septi tidak terlalu parah, hanya genting-genting sekolahnya yang
terlihat melorot dan sebagian sudah berupa kepingan yang berserakan di tanah. Pagi
ini suasana genting, semua orang terlihat di luar rumah dengan kepanikan yang
belum hilang akibat gempa pagi ini.
Septi
sedikit lega, setidaknya masih ada harapan besar bahwa ibu dan bapaknya
selamat. Ia langsung berpamitan kepada guru sekolahnya dan menyusuri jalan setapak
menuju rumahnya seperti biasa. Ia melangkah panjang dengan tergesa melewati
beberapa gang yang terlihat ramai. Semua sibuk membicarakan kejadian pagi itu.
Bagi Septi, tidak ada yang lebih penting dari menemui kedua orang tuanya.
***
Deg!
Tiba-tiba kopernya terlepas dari pegangan. Jantung Septi berdegup lebih kencang
dari biasanya, nafasnya tercekat. Firasatnya tiba-tiba mengatakan ada hal buruk
telah terjadi. Suasana memang masih panik, tapi kenapa terdengar suara tangisan
dari dalam rumahnya? Dan kenapa banyak orang berkumpul di sini?
Tidak!
Tidak boleh!
Septi
segera berlari ke dalam rumah. Semua mendadak terasa slow motion. Hitam putih.
Bahkan ia hampir tidak mendengar suara apapun. Dan tiba-tiba nafasnya serasa
berhenti melihat siapa yang ada di tengah ruangan itu.
“Septi!”
seorang perempuan langsung memeluk Septi dengan isak tangis.
“Ba –“
Perempuan
itu mengeratkan pelukannya kepada Septi yang masih mematung tanpa bisa
menjelaskan apapun. Hanya isak tangis yang terdengar di ruangan itu, isak
tangis bak pisau yang menghujam ulu hati Septi. Perih.
“Ba. . .pak!”
Septi berkata terbata. “Bu?”
Ibunya
melepaskan pelukan dan memandang Septi dengan terluka. “Dlingo parah, Sep.
Bapak menginap di rumah pakde semalam.”
Penjelasan
Ibu tidak berpengaruh apa pun kepada Septi. Kepalanya mendadak pening. Ia
kemudian berjalan limbung ke arah tubuh yang telah terbujur kaku di hadapannya.
Tubuh bapaknya yang sudah terbungkus kain kafan. Wajah bapaknya yang tegas sudah
penuh dengan luka.
“Bapak,”
Septi mengusap wajah bapaknya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya
masih menggenggam medali perak yang memang tidak ia lepaskan dari tadi. “Bapak,
ini Septi.”
“Septi
sudah pulang, Pak,” kata Septi dengan suara serak. Matanya sudah panas, namun
air mata tak kunjung menetes. Hatinya nyeri. Serasa ada yang menyumbat
tenggorokannya. “Pak, Septi bawa piala buat Bapak.”
***
Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
(Ayah-Seventeen)
---
Seorang
perempuan muda berseragam putih bergegas menuju sebuah ruangan dengan plakat
dr. Septi Cahyaningrum. Setelah mengetuk pintu dua kali, ia langsung membuka
pintu.
“Dok, ada
pasien di UGD,” lapornya.
dr. Septi
terlihat menutup dompetnya dan menyusut kristal bening di sudut-sudut matanya.
“Baiklah, mari!”
-THE END-
I know
that ini drama sekali, dan feelnya nggak begitu kuat, dan main emosinya kurang
greget, dan berasa kurang nyampai maknanya. Tapi ya sudahlah. Hanya sedang
belajar bikin cerpen dengan tema lain, dan nggak melulu tentang galaunya
kehidupan remaja. Hehe.
Cerpen ini
saya dedikasikan khusus untuk my Daddy yang super kece, yang nggak pernah
bilang sayang ke saya. Tapi saya yakin, jika ada kata yang maknanya lebih dalam
dari sekedar kata sayang, itulah yang sebenarnya ingin beliau sampaiakan kepada
saya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar