Minggu, 27 Januari 2013

Piala Untuk Bapak


Seorang perempuan berusia tiga puluhan berjalan santai memasuki ruang kerjanya. Jalanan tidak begitu macet pagi ini sehingga ia bisa sampai tempat kerja lebih awal dari biasanya. Ia mendorong pintu dihadapannya sehingga menimbulkan decitan kecil, lantas ia memasuki ruangan ber-AC itu.

Setelah melatakkan tas kerja, ia duduk dan memakai kacamata minusnya. Berniat menikmati waktu yang belum padat, ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Tangan kanannya menyentuh sebuah benda saat ia memasukkannya ke dalam saku jas. Ditariknya benda berbentuk persegi panjang itu, sebuah dompet kulit berwarna cokelat. Tak lantas memasukkan dompet ke dalam tas, ia justru membuka dompet itu. Terlihat sebuah foto hitam putih terpampang di wadah plastik di tengah dompet itu.

Dua orang sedang duduk berdampingan dengan seorang anak kecil di tengahnya. Ketiganya tersenyum ke arah kamera.
---

“Dihimbau kepada pengguna jalan untuk memperhatikan portal kereta api demi keselamatan berlalu lintas– “    

Suara khas yang tersiar dari speaker Stasiun Lempuyangan itu menggema sampai bangunan besar tempat pengepakan barang. Bangunan seluas dua ratus meter persegi itu hanya berjarak sepelemparan batu dengan Stasiun Lempuyangan.

Seorang lelaki paruh baya terlihat sedang mengambil beberapa llipat kardus dan segulung rafia untuk mengemas sebuah motor yang akan dipaket ke Jakarta. Ia tidak mempedulikan lagi peluh yang mengaliri pelipisnya. Itu sudah hal yang biasa. Sudah beberapa tahun ini ia bekerja sebagai pengemas barang untuk mencukupi kebutuhan istri dan seorang anaknya.

Dengan tekun ia menutupi bagian-bagian motor dengan kardus dan melilitkan rafia untuk menahan kardus agar tidak lepas. Setelah selesai, ia berdiri dan bertolak pinggang. Memandangi masih ada tiga motor lagi yang harus dikemasnya. Dia menatap keluar sejenak, dan mendapati seorang gadis berkerudung tengah berjalan melewati bangunan itu.
***

“Main kemana saja?” tanya laki-laki itu saat gadis yang ia lihat tadi siang menyodorkan segelas kopi untuknya.

“Ulang tahunnya Fika, Pak,” jawab gadis itu, mengerti dengan maksud pertanyaan Bapaknya.

“Anaknya Pak Agung?” Pak Karto menyebutkan nama seorang terpandang di daerahnya.

Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan.

“Kehidupanmu dengan mereka itu berbeda, nduk. Jangan harap kamu bisa merayakan ulang tahun seperti Fika!” ujar Pak Karto tegas. “Bapak ini cuma orang ndak punya. Pas-pasan!”

Septi mengeluh dalam hati. Lagipula siapa yang minta ulang tahunnya dirayain? Ia paling tidak suka dengan pembicaraan seperti. “Septi hanya menghadiri undangan, Pak.”

“Bapak juga cuma mengingatkan, Sep. Bapak ndak pengen kamu keblinger dan lupa tugasmu!” Pak Karto meniup-niup kopi yang masih panas. Asapnya mengepul menerpa wajahnya yang terlihat lelah.

Septi tidak menjawab, ia memilih masuk ke dalam rumah. Selalu saja begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Selalu dinasehati setiap hari. Septi sudah kelas dua SMP, sudah bukan anak kecil yang harus diingatkan setiap hari. Dia sudah cukup mengerti apa saja yang harus ia lakukan dan tidak boleh ia lakukan. Ia sudah tahu batasannya.

Tidak perlu diingatkan kalau ia orang pas-pasan setiap hari juga ia sudah tahu diri akan keadaan itu. Tidak perlu dinasehati terus-terusan kalau tugas utamanya adalah belajar juga Septi akan selalu melaksanakan tugasnya. Kenapa, sih, Bapak tidak pernah mengerti? Septi sudah bukan anak kecil lagi.
***

“Septi jadi berangkat ke Bandung, Pak,” ujar Ibu pagi itu seraya menyendokkan nasi ke piring Bapak. “Dananya dari sekolah kok. Paling cuma nambah buat keperluan sendiri.”

Bapak mengambil dua potong tempe tanpa berkomentar apa-apa. Seiring dengan itu, Septi keluar dari kamar lengkap dengan seragam putih birunya. Ia bergegas mengambil sarapan.

“Bu, nanti Septi pulangnya agak sore lagi.”

“Jangan main terus! Ingat amanah!” Pak Karto berujar tegas tanpa mengalihkan pandangan dari piring dihadapannya.

“Septi ndak main, Pak, setiap pulang sekolah ada pendalaman materi.” Ibu menengahi.

“Bapak cuma mengingatkan. Usia seperti Septi itu masih labil, harus diingatkan terus, Buk!” Bapak kemudian menoleh ke arah Septi. “Sep, Bapakmu ini bukan orang berpendidikan. Bapak ndak bisa ngomong dengan bahasa tinggi seperti orang tuanya Fika. Bapak ndak ngerti yang namanya biologi biologi itu. Bapak ndak bisa menjanjikan sekolah yang tinggi buat kamu. Kamu harus ngerti dengan keadaan ini. Tapi kalau kamu tetap berani bermimpi tinggi, konsekuensinya cuma satu, kamu harus mau bekerja keras.”

Septi mengunyah campuran tempe dan nasi dalam mulutnya dengan kesal. Suasana sarapan pagi itu mendadak menjadi tidak menyenangkan.
***

“Dua hari lagi kamu berangkat,” kata Ibu sembari menuangkan bubuk detergent ke dalam ember cucian. “Pulang saja, siap-siap!” Bu Ningsih memang seringkali mencari tambahan penghasilan dengan menjadi buruh cuci gosok.

Septi hanya tersenyum. “Ibu kok jadi kayak Bapak!”

“Niatnya bapakmu itu baik, nduk. Tolong airnya ditambah!”

Septi mengambil selang dan memutar keran untuk mengalirkan air.

Refreshing, Bu. Kalau belajar tiap hari, nanti takutnya baru masuk ruangan Septi udah menang.”

Ibunya hanya tersenyum, ia mulai mengucek pakaian satu per satu. “Ibu sudah pinjam koper ke Mbak Anjar. Nanti langsung kamu ambil di rumahnya!”

Septi hanya mengangguk dan mulai membantu Ibunya mengucek baju. “Kalau Septi bisa menang Olympiade, Bu, kesempatan buat dapet beasiswa terbuka lebar. Mas Dika, yang tahun lalu dapet perunggu, dapet beasiswa sampai kuliah.”

“Memangnya kamu yakin mau kuliah? SMA saja belum tentu bisa, Sep.”

“Septi pengen jadi dokter, Bu.”
***

“Besok-besok lagi ndak usah nyuruh Septi ikut kerja, Bu! Kalau sudah ndak sanggup kerja, ya sudah ngurus rumah aja! Bapak akan cari kerja tambahan.”

Terdengar suara samar Bapak yang bernada tegas dari ruang tamu. Septi yang baru pulang dari mengambil koper, berhenti sejenak di luar rumah.

“Cuma sebentar tadi, Pak. Lagipula, Septi butuh istirahat. Beberapa hari ini dia sudah belajar terus.”

“Istirahat itu santai di rumah, Bu. Bukannya disuruh nyuci!”

“Sampai kapan Bapak mau menganggap Septi anak kecil?”

Septi mengetuk pintu dua kali dan masuk tanpa dipersilakan. Ia tidak berani memandang wajah bapak dan ibunya. Hanya menunduk membawa koper dan langsung bergegas ke kamar.

“Kalau udah nggak betah sekolah, langsung nyari kerja aja!” kata Bapak.

“Pak!” Ibu berusaha menetralisir, ia tidak ingin terjadi perdebatan malam ini.

Sedangkan Septi yang baru saja akan meninggalkan ruang tamu berbalik lagi. “Ibu nggak nyuruh Septi kerja, Pak, Septi yang pengen.”

“Terus kenapa harus sekolah kalau cuma mau jadi tukang cuci?”

“Pak, sudah. Septi kamu masuk ke kamar saja, ya!” Ibu menatap Septi lekat, mengisyaratkan agar ia tak memperpanjang pembicaraan.

“Kurang uang saku dari Bapak selama ini? Bapakmu ini memang cuma adanya begini, Sep. Bapak ndak bisa ngasih uang banyak-banyak.”

“Septi cuma membantu ibu, Pak, apa salah? Itung-itung sekalian refreshing,” kata Septi dengan suara parau.  

“Berhenti sekolah aja!” Bapak setengah membentak. “Bapak ini kerja tiap hari cuma agar kamu bisa sekolah, Sep. Masih untung kamu itu dapet beasiswa. Harusnya kamu bisa bersyukur, dengan apa? Dengan belajar, belajar, dan belajar. Bukan malah ikut-ikutan kerja. Nyari uang biar jadi urusan bapak. Kalau nilaimu jelek dan beasiswa dicabut, bapak ndak bisa menjanjikan kamu bisa lulus di SMP favorit itu. Jadi orang itu yang nerima. Adanya ya kayak gini, pas-pasan! Diterima!” Bapak meletakkan kopinya di atas meja.

“Kayak gitu kok mau menang olympiade! Memangnya olympiade itu ditanyain caranya nyuci,” gumam bapak seolah ia tidak berbicara pada siapapun.

Mata Septi berkaca-kaca. Ibu segera berdiri dan mendekati Septi. “Sayur lodeh sama tahu bacem, Sep, makan dulu.”

“Septi nggak lapar, Bu.”

Dan ia langsung masuk kamarnya.
***

Dua hari sejak perdebatan malam itu, Septi dan bapak tidak saling bertegur sapa. Sampai hari ini, Selasa, hari ke berangkatan Septi ke Bandung untuk mengikuti Olympiade Biologi tingkat Nasional.

“Sep, sudah lengkap semua? Ndak ada yang ketinggalan?” Ibu masuk ke kamar Septi untuk mengecek perlengkapan putri satu-satunya.

“Sudah, Bu. Bajunya sudah cukup untuk satu minggu,” jawabnya sambil menutup resleting koper.

“Ini ada tambahan uang saku, ndak usah beli yang macem-macem ya di sana,” kata ibu sambil menyelipkan bundelan uang ke dalam wadah yang lebih kecil di koper pinjaman itu.

“Terima kasih, Bu, doakan Septi selalu!”

Bu Ningsih mengusap kepala putrinya dengan mata berkaca-kaca. Diatapnya wajah gadis berusia tiga belas tahun itu. Meski usianya masih belia, namun garis wajah gadis itu terlihat lebih dewasa dari usianya. Ia lantas merapikan lipatan kerudung yang digunakan Septi.

“Jangan lupa pamit sama Bapak, ya.”

Sepasang ibu anak itu akhirnya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu. Pagi ini, bapak sepertinya sengaja tidak berangkat ke gudang. Bapak terlihat duduk di ruang tamu sambil menikmati kopi seperti biasa. Septi menoleh ke arah ibu sebelum minta ijin kepada bapak, tampak keraguan dari tatapan matanya. Ibu hanya mengangguk dan tersenyum meyakinkan Septi.

“Pak,” kata Septi ragu-ragu. Bapak sama sekali tidak menoleh. “Septi, berangkat. Mohon doa restu.” Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan kepada bapak.

Bapak tidak langsung menyambut uluran tangan Septi, ia memandang wajah putrinya dalam-dalam. Ada sebuah kebanggaan terlesip dalam tatapan itu. Bapak lalu membalas uluran tangan Septi, dan ketika Septi menunduk untuk mencium tangannya, bapak mengulurkan kiri untuk menepuk pundak Septi.

“Bawakan bapak piala, Sep!”
***

Septi memandang hamparan awan melalui kaca jendela pesawat yang ditumpanginya. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat hijau dan biru, tapi ia yakin, di antara titik-titik kecil yang ia lihat di bawah, ada Ibu dan Bapaknya yang selalu menunggunya. Hatinya sudah tak sabar ingin segera bertemu orang yang begitu ia cintai, memeluk mereka sembari memberi kabar gembira. Tak terasa, tangan Septi menggenggam medali perak di tangannya lebih erat.
***

Bandara pagi itu masih seperti biasa, banyak orang berlalu-lalang. Bedanya, kali ini mereka berjalan dengan tergesa dan dengan wajah panik. Berbagai informasi dan peringatan bersahutan dari speker Bandara Adisucipto. Dan kontigen olympiade dari Jogja baru tahu, bahwa beberapa waktu yang lalu baru saja terjadi gempa bumi.
***

Bangunan dihadapan Septi tidak terlalu parah, hanya genting-genting sekolahnya yang terlihat melorot dan sebagian sudah berupa kepingan yang berserakan di tanah. Pagi ini suasana genting, semua orang terlihat di luar rumah dengan kepanikan yang belum hilang akibat gempa pagi ini.

Septi sedikit lega, setidaknya masih ada harapan besar bahwa ibu dan bapaknya selamat. Ia langsung berpamitan kepada guru sekolahnya dan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya seperti biasa. Ia melangkah panjang dengan tergesa melewati beberapa gang yang terlihat ramai. Semua sibuk membicarakan kejadian pagi itu. Bagi Septi, tidak ada yang lebih penting dari menemui kedua orang tuanya.
***

Deg! Tiba-tiba kopernya terlepas dari pegangan. Jantung Septi berdegup lebih kencang dari biasanya, nafasnya tercekat. Firasatnya tiba-tiba mengatakan ada hal buruk telah terjadi. Suasana memang masih panik, tapi kenapa terdengar suara tangisan dari dalam rumahnya? Dan kenapa banyak orang berkumpul di sini?

Tidak! Tidak boleh!

Septi segera berlari ke dalam rumah. Semua mendadak terasa slow motion. Hitam putih. Bahkan ia hampir tidak mendengar suara apapun. Dan tiba-tiba nafasnya serasa berhenti melihat siapa yang ada di tengah ruangan itu.

“Septi!” seorang perempuan langsung memeluk Septi dengan isak tangis.

“Ba –“

Perempuan itu mengeratkan pelukannya kepada Septi yang masih mematung tanpa bisa menjelaskan apapun. Hanya isak tangis yang terdengar di ruangan itu, isak tangis bak pisau yang menghujam ulu hati Septi. Perih.

“Ba. . .pak!” Septi berkata terbata. “Bu?”

Ibunya melepaskan pelukan dan memandang Septi dengan terluka. “Dlingo parah, Sep. Bapak menginap di rumah pakde semalam.”

Penjelasan Ibu tidak berpengaruh apa pun kepada Septi. Kepalanya mendadak pening. Ia kemudian berjalan limbung ke arah tubuh yang telah terbujur kaku di hadapannya. Tubuh bapaknya yang sudah terbungkus kain kafan. Wajah bapaknya yang tegas sudah penuh dengan luka.

“Bapak,” Septi mengusap wajah bapaknya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya masih menggenggam medali perak yang memang tidak ia lepaskan dari tadi. “Bapak, ini Septi.”

“Septi sudah pulang, Pak,” kata Septi dengan suara serak. Matanya sudah panas, namun air mata tak kunjung menetes. Hatinya nyeri. Serasa ada yang menyumbat tenggorokannya. “Pak, Septi bawa piala buat Bapak.”
***

Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
(Ayah-Seventeen)
---

Seorang perempuan muda berseragam putih bergegas menuju sebuah ruangan dengan plakat dr. Septi Cahyaningrum. Setelah mengetuk pintu dua kali, ia langsung membuka pintu.

“Dok, ada pasien di UGD,” lapornya.

dr. Septi terlihat menutup dompetnya dan menyusut kristal bening di sudut-sudut matanya. “Baiklah, mari!”

-THE END-

I know that ini drama sekali, dan feelnya nggak begitu kuat, dan main emosinya kurang greget, dan berasa kurang nyampai maknanya. Tapi ya sudahlah. Hanya sedang belajar bikin cerpen dengan tema lain, dan nggak melulu tentang galaunya kehidupan remaja. Hehe.
Cerpen ini saya dedikasikan khusus untuk my Daddy yang super kece, yang nggak pernah bilang sayang ke saya. Tapi saya yakin, jika ada kata yang maknanya lebih dalam dari sekedar kata sayang, itulah yang sebenarnya ingin beliau sampaiakan kepada saya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar