Setelah
melepaskan helmnya, Daniel memastikan tatanan rambutnya tidak berantakan
melalui kaca spion motornya. Setelahnya, dia melangkah panjang dan bergegas
menaiki lift dari area parkir basement sebuah pusat perbelanjaan. Dia menarik
dengan cepat ponsel dari saku celananya dan segera menekan tombol speed dial
untuk menghubungi seseorang.
Daniel
mendekatkan ponselnya ke telinga dan suara nyaring segera menggantikan nada
sambung yang baru sekali terdengar.
“Ze, aku
udah sampai kamu dimana?”
“Langsung ke
atas aja, aku di depan Nachos.”
“Okee.”
Klik! Daniel
kemudian menyimpan kembali ponselnya. Merasa agak aneh dengan percakapan yang
baru saja terjadi. Selama ini mereka selalu ngobrol panjang-panjang dan sering
berbasa-basi bukan to the point seperti yang baru saja terjadi. Daniel
menyadari satu hal, bahwa kegugupan bisa membawa perubahan yang cukup
signifikan. Tanpa disadari, jantungnya berdegup makin kencang dan dia
berkali-kali melirik setelan jeans dan kaosnya. Memastikan bahwa dia dalam kondisi
paling keren hari itu.
Nonton bareng Ze untuk pertama kali. Dia
menggumam dalam hati dan saat itu juga ada yang berdesir di dalam hatinya. Dia
menarik napas panjang sebelum masuk ke bioskop tempat mereka janjian. This is the time, God bless me, please!
Kondisi
bioskop siang itu sedang penuh sesak, Daniel harus berjinjit untuk menemukan
gadis mungil itu. Dia menyelinap di antara antrian yang mengular untuk menuju
mesin popcorn yang disebutkan Ze di obrolan singkat tadi. Dengan cepat, matanya
menangkap siluet yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Dia tengah berdiri
dalam balutan dress vintage simple, rambut sebahunya dibiarkan terurai begitu
saja. Meskipun jarak mereka masih jauh, Daniel bisa dengan jelas melihat profil
wajah gadis itu dari samping.
Tiba-tiba
ruang antri bioskop itu berubah menjadi taman penuh bunga-bunga yang
beterbangan. Angin semilir menerbangkan beberapa anak rambut Ze. Dengan gerak
slow motion, ia menoleh ke arah Daniel dan pandangan mereka bertemu. Ze
tersenyum manissss sekali dan Daniel seperti menemukan oase di tengah gurun.
Sejukkk sekali.
Bukk!
“Permisi, bisa agak minggir? Jangan mengganggu antrian!”
Dan
seketika, taman bunga berubah menjadi ruang antri bioskop yang penuh lagi.
Daniel meringis dan segera menghampiri Ze yang baru saja melambaikan tangan ke
arahnya.
“Udah lama?”
Daniel membuka pembicaraan.
“Yah, yang
jelas tiket udah di tangan. Untung nggak kehabisan.” Ze tersenyum simpul di
akhir kalimatnya. Lihatlah! Betapa hanya dengan tersenyum, gadis itu terlihat begitu
menawan.
Daniel
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Merasa bersalah. Dengan antrian
yang sepanjang ini, dia yakin Ze sudah berdiri lama untuk mendapatkan tiket.
“Maaf ya, tadi ada masalah sedikit!” Daniel menyesal sendiri kenapa tadi
menghabiskan waktu terlalu lama di depan cermin. Hal yang selama ini hampir
tidak pernah dia lakukan. Ternyata, bukan hanya cewek yang tiba-tiba ribet
ketika akan menghadapi kencan pertama.
Ini semua
memang gara-gara Ze. Gadis itulah yang sudah tiga bulan ini menjadi alasan
Daniel sering bertingkah di luar kewajaran. Sering berputar untuk menuju kantin
hanya karena ingin lewat depan kelas Ze. Sering searching resensi novel teenlit
hanya agar dia nyambung ngobrol dengan gadis itu. Tiba-tiba menyukai lagu-lagu
bertemakan cinta. Sampai hal kecil seperti menyempatkan membaca ulang deretan
SMS dari Ze sebelum dia tidur, dan dia akan tersenyum sendiri bahkan hanya
dengan membaca pesan : heh, dasar kamu yaaa >.< *timpuk batu*.
Dan hari
ini, setelah semalaman berlatih di depan cermin dan menuliskan kalimat apa saja
yang harus dia ucapkan, dia bertekad untuk menyatakan perasaannya kepada Ze.
Daniel sebenarnya tahu, tanpa diungkapkan, Ze bisa merasakannya. Karena mata
mereka pernah saling berbicara, seperti saat Daniel dan Ze berteduh dari hujan
minggu lalu sepulang sekolah. Saat Daniel menggumam lirih, “Kalau bisa hujannya
nggak usah berhenti, biar aku bisa lebih lama di sini, denganmu,” kemudian
mereka saling menatap lama, dan akhirnya Ze mengalihkan pandangan sambil
tersenyum malu.
“Kamu harus
membayar tiketnya lima kali lipat dari harga aslinya, buat ongkos ke tukang
pijit. Pegel tauk berdiri lama!” Ze memasang muka cemberut.
Daniel
terkekeh dan mengacak pelan rambut Ze. “Dasar kamu ya!”
“Daaaannn!” Ze
tambah cemberut dan langsung merapikan rambutnya. “Tarif tiket naik jadi
sepuluh kali lipat. Ongkos buat ke salon.”
“Oh,
ternyata ada yang udah dandan mati-matian buat ketemu aku hari ini.”
“Ih, pede
banget. Nggak ya! Nggak!”
“Nggak
salah?” Daniel menggoda lagi.
“Nggak,
Daniiii, nggak!” Ze memukul pelan bahu Daniel dan Daniel pura-pura mengelus
bahunya kesakitan. Daniel selalu suka dengan adegan seperti ini. Dimana Ze akan
mengelak dengan wajah yang sudah memerah. Manis sekali.
“Zee,
tiketnya lo yang. . .eh, jadi ini temen lo, eh, kamu itu?” seorang cowok
tiba-tiba datang membawa dua kotak popcorn. “Hai, gue Pras!” dia kemudian
menyerahkan sekotak popcorn karamel kepada Ze dan mengulurkan tangan kanannya
kepada Daniel.
Daniel agak
bingung tapi kemudian membalas uluran tangan itu. “Daniel.”
“Lo sama
siapa? Sendirian? Kirain tadi kita bakalan double date.”
Daniel
mengernyit tidak mengerti. Double date? Dia kemudian menolah ke arah Ze dengan
bingung dan seolah meminta penjelasan tentang siapa cowok yang tengah berdiri
di sampingnya itu.
Mengerti
dengan arti tatapan Daniel, Ze melirik cowok dengan jeans belel dan kemeja yang
dibiarkan terbuka sehingga menampakkan kaos hitam yang dipakainya. “Dia—“
“Gue
pacarnya Ze.” Belum sempat Ze menjawab, Pras sudah memotong. Dia kemudian
menjulurkan tangan kanannya untuk merengkuh pundak Ze.
Sedangkan di
hadapannya, Daniel berdiri dengan tidak percaya. Apa tadi? Pacar? Daniel memastikan
dia tidak salah dengar. Dia menatap Ze tajam untuk meminta penjelasan. Ze
terlihat menggigit bibir bawahnya dengan gelisah dan mengangguk pelan.
Cukup dua
anggukan, tapi gerakan itu sukses membuat Daniel berantakan. Hatinya gusar,
otaknya tiba-tiba linglung. Antara tidak ingin percaya dengan apa yang dia
hadapi dan nyeri karena tiba-tiba harapan yang sudah ia lambungkan limbung
seketika. Ia ingin tertawa sambil berkata, “Mau ngerjain aku ya?” tapi melihat
Pras merangkul pundak Ze dia tidak punya cukup keberanian untuk menyuarakannya.
“Tapi kamu
nggak pernah cerita kalau punya pacar, Ze!” Justru kalimat itu yang meluncur
dari mulutnya.
Ze terlihat
diam sejenak. “Surpriseeee! Hari ini memang rencananya aku mau ngenalin Pras
sama kamu, Daniii!” kalimat ceria itu muncul disertai sebuah rentangan tangan
ke udara seolah ini adalah sebuah kegembiraan.
Daniel
menggeleng tak percaya sambil tersenyum konyol. “Ze, bukannya hari ini kita
janji nonton berdua?”
“Tadinya
gitu, tapi berhubung Pras merengek ikut, gimana dong? Mukanya memelas banget
tadi waktu aku mau berangkat,” Ze berujar, “jadi, aku pikir sekalian aja gitu
ngenalin Pras ke kamu. Hehe. Nggak papa kan, Dan? Nanti deh lain kali kita
nonton berdua aja, Pras pasti ngebolehin kok, dia nggak pernah ngelarang aku
temenan sama siapa aja. Ya kan, Pras?” Ze menoleh ke arah Pras, agak mendongak
karena memang perawakan Pras yang tinggi. Pras hanya membalas dengan seulas
senyum sambil mengusap pelan rambut Ze, dan rasa sayang kentara sekali dari
tatapan Pras.
Hati Daniel
lebur tak karuan memandang adegan yang baru saja terjadi. Penjalasan Ze tak
ubahnya sebuah dengungan panjang di telinganya. Tiba-tiba semua terasa gelap.
Lalu apa artinya kedekatan mereka selama ini? Masih terasa hangatnya tangan Ze
yang ia genggam saat hujan seminggu yang lalu. Saat setelah Daniel mengucapkan
harapan agar hujan tidak berhenti, ia menggenggam tangan Ze dan Ze membalas
genggaman itu. Adakah semua itu hanya sebuah momen tanpa makna? Apakah Ze
memang berniat mempermainkannya? Atau memang selama ini Daniel hanya ke-GR-an
dengan kedekatan mereka?
Lutut Daniel
lemas seketika, badannya seakan tidak bertulang. Ia linglung. Otaknya menyuruh
agar dia percaya bahwa memang Ze dan Pras adalah sepasang kekasih. Tapi hatinya
menolak. Banyaknya pertanyaan terjejal yang membuatnya bingung sedikit
mengabaikan perih yang dirasakan hatinya. Ternyata, dia tidak mengenal siluet
itu dengan baik. Selama ini dia salah, dia tidak mengenal Ze.
“Kita masuk
sekarang aja gimana? Tinggal beberapa menit lagi mulai nih!” kalimat Pras
memecah keheningan yang tercipta selama beberapa detik. Beberapa detik yang
terasa panjang bagi Daniel.
“Mmm, Ze,
aku pulang ya,” seloroh Daniel cepat.
“Loh, Dan,
kamu nggak ikut? Kan sebenernya kalian yang mau nonton?”
“Sebenernya
gue harus nyerahin proposal ke temen hari ini. Have fun aja!” Ia membuat alasan
yang terasa paling logis sambil tersenyum terpaksa.
“Yakin?” Ze
memastikan sambil menatap Daniel.
“Siapa sih
yang mau jadi obat nyamuk.” Daniel tertawa hambar. “Enjoy the movie ya!” Dia
kemudian manarik diri dari hadapan Ze dan Pras. Berbalik dan melangkah bersama
setumpuk rasa bingung. Baru beberapa langkah, suara Ze samar terdengar.
“Dani,”
teriak Ze, “hati-hati ya!” suara itu terdengar cemas.
Daniel hanya
tersenyum sekilas sambil mengangkat tangan kanannya dan bergegas secepat
mungkin. Berusaha melangkahkan kakinya yang terasa amat berat. Sungguh sangat
berbeda dengan ketika ia memasuki ruangan ini tadi.
Begitu
keluar, ia terdiam sejenak memandang sekitar. Semua terasa abu-abu. Ia
berharap, Ze menyusulnya dan berteriak, “April mooop!” sayang ini masih bulan
Januari. Daniel menekan pelipisnya yang terasa berdenyut, otaknya masih
berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia menggeleng lemah tak mengerti
dan melangkah gontai mencari tong sampah terdekat. Ditariknya selembar kertas
yang terlipat rapi dari saku celananya. Ia meremas kertas berisi kalimat yang
telah ia susun rapi untuk mengungkapkan perasaanya kepada Ze itu menjadi
gumpalan tak beraturan. Sama tak beraturan dengan keadaan hatinya saat ini.
Dengan tatapan kosong, ia memasukkan gumpalan kertas itu ke tong sampah.
Ze, bisakah kau jelaskan semua ini?
***
Laki-laki
itu mengangkat tangan kanannya dan dengan cepat berjalan berbelok ke kanan
setelah berhasil keluar dari ruangan ini. Hanya dalam sepersekian detik ia
hilang dari pandangan Ze. Tanpa disadari, Ze menghembuskan napas berat dan
tertunduk lesu mengamati flat shoes abu-abu yang dipakainya. Ya, semua jadi
terasa abu-abu sekarang.
“Ternyata
sakit ngeliat dia senyum padahal gue tahu dia terluka.” Ia menggumam lirih.
“Well done,
bos!” Pras menepuk pundak Ze sambil tersenyum girang. “Solaria?” Dia kemudian
menyebutkan nama café yang
dijanjikan Ze jika dia berhasil berperan sebagai pacar (pura-pura) Ze.
Ze
mengangkat wajahnya lesu. “Tapi ini?” dia menunjukkan tiga lembar tiket yang
telah dibelinya.
“Itu sih
soal gampang. Sini!” Pras dengan cepat merebut tiket tersebut dan berjalan
menuju antrian, sedetik kemudian dia sudah berubah menjadi calo tiket. Tidak
perlu menunggu lama, dia sudah kembali menghampiri Ze dengan senyum penuh
keberhasilan.
“Tenang
sebentar perutku, sebentar lagi kau akan mendapatkan jamuan makan siang yang
lezat.” Pras merangkul Ze dengan girang dan mereka berlalu meninggalkan tempat
itu.
***
“Ze, gue
kemarin berhasil kenalan sama salah satu anggota cheers SMA Bina Karya. Yang
tempo hari gue ceritain ke elo, iya yang orangnya kecil tapi lincah banget itu,
inget kan?” Pras bercerita dengan semangat. “Gue dateng ke sekolahnya kemarin
sepulang sekolah. Awalnya sih gue rada sangsi bakalan bisa nemuin dia, secara
dia beda banget kalau pakai seragam sekolah. Dan biar dia gampang inget sama
gue, gue pakai jersey yang waktu itu gue pakai tanding ngelawan SMA-nya dia. Lo
tahu? Gue berhasil nganter dia pulang, Zeee. Gimana, sohib lo ini udah keren
banget belum?”
“Ze?” Pras
menatap cewek di depannya yang terlihat gelisah. “Zein Az-zahra, heloo, are you
here?” Ia mengetukkan ujung gagang pisau untuk mendapatkan respon.
“Bagi gue lo
itu nggak pernah keren. Lo itu nyebelin, Bemo!”
Pras
terkekeh sendiri mendengar nama itu. “Gue anggep itu pujian. Ngomong-ngomong,
lo nggak punya hak nyebut gue nyebelin, hari ini lo harus muji-muji gue sebagai
hadiah gue telah melakukan tugas dengan baik. Daniel keliatan hancur banget
tadi. Emang dia senyebelin apa sih, kok lo sampai tega nyuruh gue pura-pura
jadi pacar lo di hadapan dia?” Dia mengiris potongan beef steak dari hot plate
di hadapannya dan memasukkan potongan itu dengan cepat ke mulutnya.
Ze
menghembuskan napas pendek sambil terus mengaduk-aduk cafe latte yang sudah
hampir mendingin. Sahabatnya sejak SMP ini kalau udah ngomong emang nggak kenal
titik koma. Beda banget sama Pras yang jadi pacarnya tadi.
“Ze, lo beli
kopi cuma pengen lo aduk-aduk gitu?” Pras agak geram juga melihat kelakuan Ze
yang berubah jadi tidak semangat.
Pras menatap
Ze agak lama dan akhirnya mengerti, bukan saatnya ia berceloteh panjang lebar
saat Ze sudah mulai diam seperti ini. Ia kemudian kembali menikmati beef
steaknya dan membiarkan Ze tenggelam dalam kesibukannya. Selama beberapa detik
yang terdengar hanya dentingan halus dari sendok yang beradu dengan dinding
cangkir cafe latte.
Ze menyendok
cairan pekat dari dalam cangkir itu dan mencicipinya. Gerakan itu terekam oleh
mata Pras meskipun dia tidak melihat secara sempurna ke arah Ze. Ia kemudian melirik
sachet gula di wadah keramik yang ada di atas meja itu. Belum terbuka.
“Jadi
sekarang lo juga udah nikmatin kopi tanpa gula?”
“Gue jahat
banget ya!” seakan tidak menanggapi Pras, Ze justru menggumam lirih,
seolah-olah ia hanya berbicara kepada dirinya sendiri. “Melukai orang yang
sebenernya gue sayangi!”
Pras hampir
tersedak. Ia buru-buru menenggak teh botol untuk melancarkan makanan agar
kembali ke jalan yang benar. “Tunggu-tunggu!” Ia kemudian berkata tergesa.
“Melukai orang yang sebenernya lo sayangi? Maksudnya?”
Ze tersenyum
ironis. Bagaimana bisa ia melakukannya? Menyakiti hati seseorang yang diam-diam
telah ia amati sejak MOS SMA. Seseorang yang bisa membuatnya lumer hanya dengan
sebuah senyuman. Seseorang yang namanya ia sematkan rapi di hatinya.
“Gue sama
Dani itu beda, Pras,” tutur Ze tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir di
hadapannya, “hampir tiga bulan gue deket sama dia, gue mencoba mengabaikan hal
ini. Sampai dua hari yang lalu, saat gue ngeliat dia berdoa dengan khusyu’. Gue
sadar, gue nggak bisa terus-terusan mengabaikan hal krusial ini. Tiba-tiba hati
yang selama ini gue paksa untuk tidak mempermasalahkannya, kalah. Gimana pun,
gue sama Pras enggak sama. He’s a christian, dan gue seorang muslim.”
Pras
menyandarkan tubuhnya dan memasang tatapan tidak mengerti. “Dan itu alasan lo
ngelakuin hal tadi? Lo. . .sumpah lo bego, Ze, bego banget!”
Ze hanya
tersenyum. Dia menyadari hal itu.
“Lo kan bisa
ngobrol baik-baik, nyari solusi bareng, dia juga pasti ngerti banget dengan
masalah ini. Nggak perlu saling nyakitin kayak gini. Lo kan, ck, sumpah bagi gue,
lo nggak punya cukup alasan untuk harus nyakitin dia, Ze.” Nada jengkel
terdengar jelas dari suara Pras.
Ze hanya
tersenyum kecil. “Lo kenal Agatha kan? Sahabat gue yang sering main ke rumah?”
Pras
mengingat-ingat. “Yang dia pernah dateng minjem kamera waktu gue di rumah lo
itu?”
Ze
mengangguk. “Dia suka sama Dani, Pras.”
Pras menegakkan
tubuhnya kembali.
“Mungkin gue
ini nggak peka. Temenan sama Aga udah sejak kelas sepuluh, bareng-bareng sama
dia, ketawa-ketiwi, saling curhat, tapi gue nggak pernah ngerti kalau dia
memendam perasaan buat Dani.”
“Terus
kenapa bisa lo akhirnya tahu?” Pras terlihat antusias mendengarkan cerita Ze.
“Aga suka
fotografi, dan beberapa waktu yang lalu, seperti biasa gue ngerjain tugas di
rumah dia. Di kamar dia. Nggak sengaja, gue nemu album foto, dan di situ penuh
dengan fotonya Dani yang dia ambil tanpa sepengetahuan Dani. Dia menempel
foto-foto itu rapi, lengkap dengan diskripsinya. Klasik, dan indah banget,
Pras.”
Ze terlihat
menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Gue nggak bisa ngebayangin,
gimana sakitnya Aga tiap ngeliat gue antusias banget nyeritain Dani. Gue emang
nggak peka banget, Pras.”
Pras
mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak Ze. Berusaha bersimpati.
“Sebelum
semuanya lebih jauh, mending di akhiri aja kan? Gue nggak mau persahabatan gue
sama Aga putus cuma gara-gara Dani,” ujar Ze. “Menurut lo, apa gue udah punya
cukup alasan buat ngelakuin hal tadi?”
Pras tidak
menjawab. Dengan semua cerita Ze, dia cukup mengerti kenapa Ze mengambil
tindakan tadi. Pras kemudian menatap sahabatnya itu dengan prihatin. “Gue tahu
Ze, sebenernya bukan cuma Daniel yang ngerasa sakit,” kata Pras kemudian.
Ze terlihat
mencoba tersenyum, mengerti dengan maksud Pras.
Tiba-tiba Ze
teringat tatapan Daniel ketika dia memperkenalkan Pras. Tatapan yang kosong,
dan Ze belum pernah melihat tatapan Daniel yang semacam itu. Matanya sekarang
kebas, terasa pedih dan panas. Ini yang
terbaik, ya, mungkin memang menyakitkan tapi inilah yang terbaik. Ze
berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Hanya
dengan seperti ini, Dani akan lebih mudah melupakan gue,” gumam Ze dengan suara
bergetar.
Kamu tidak perlu tahu yang sebenarnya, kamu cukup
menganggap aku telah menyakitimu, dan kamu akan lebih mudah melupakan semua,
Dani. Maafkan aku!
-THE END-
Cukup lama
saya nggak nulis cerpen, jadi cukup mengejutkan ketika menyadari bahwa saya
berhasil menyelesaikan cerita ini. Wkwk. Rada aneh juga pas sampai di ending.
Antara nggak percaya dan nggak puas. Yang ingin saya sampaikan sebenernya nggak
begini, tapi kok jadinya begini? Duuh, susah ngejelasinnya. Tapi ya udah sih,
yang penting saya bisa bikin satu cerpen, yihiiii. Unbelieveable. Judulnya maksa
banget, kan? Alasan Ze yang tetep nggak bisa diterima, nggak bisa dipercaya.
Wkwk.
Well, saya
berharap akan ada yang meninggalkan komentar untuk cerita ini. Kritik dan saran
akan lebih saya harapkan demi masa depan yang lebih baik (?) :D
curang.... nggak bilang-bilang nulis cerpen....
BalasHapusmihihi, maaf kak, makasih udah baca ya :)
BalasHapus